Friday, April 11, 2008

[Menggali Kebudayaan Lokal] Falsafah “Ngeyel”

artikel ini di copy paste dari wiedjaya


Falsafah “Ngeyel”

Mengapa budaya penduduk asli bumi Nusantara Pudar ?.
Mungkin hal ini diakibatkan oleh filosofi penduduk asli yang dibentuk dari pengamatan mereka terhadap alam disekitarnya.

Alam mengajarkan mereka untuk bersikap tidak merusak “HARMONIS”, menyatu dengan alam, yang juga diaplikasikan pada sesame manusia sehingga timbul kepercayaan “Tenggang Rasa”. Kemudian bila alam sedang bergolak mereka tidak mampu berbuat apa-apa dan pasrah kepada kekuatan alam maka terlahirlah kepercayaan “NERIMO”, karena mereka melihat gejolak alam selalu ada akhirnya dan kepercayaan nerimo inipun di aplikasikan pada hubungan antar manusia.

Terakhir dan yang mungkin menjadi penyelamat dari budaya tua ini adalah sikap NGEYEL (pantang menyerah). Setelah alam selesai menghancurkan perabot kehidupannya, mereka kembali membangun kehidupan. Sikap ngeyel ini lebih cocok dibilang “RESILIENCE”, karena makna dari kata ngeyel sekarang sudah mempunyai konotatif negative, dipakai untuk julukan orang tak berilmu atau dogol tapi bersikukuh dengan pendapatnya.

Terdesak dengan kedatangan rombongan refugee dari luar (saat itu kita belum punya pulau Galang sebagai pusat penampungan), maka Aki Dudung menerima para refugee ini dengan tangan terbuka termasuk budayanya. Ini semua terjadi karena sudah sangat mendalamnya filosofi Harmony dan Nerimo yang diajarkan oleh alam pada Aki Dudung, sehingga terjadilah pembauran budaya melalui proses bertahun-tahun lamanya sehingga sekarang seolah-olah merupakan budaya asli bangsa kita.

Namun diam-diam dibelakang layar, self preservation mechanism yang ada dalam tubuh budaya tua kita itu sesungguhnya sudah mulai bekerja sejak saat para refugee menginjakkan kaki di bumi Pertiwi. Alat pembela tersebut dikenal dengan nama “NGEYEL”. Sifat-sifat ngeyel dari nenek moyang kita inilah yang telah berhasil mempertahankan ilmu pengetahuan tua tersebut dengan menyisip-nyisipkan istilah dan nama asli secara terbuka disamping membuat ceritas lagenda yang tidak masuk akal tapi sebenarnya adalah pesans leluhur dalam bentuk sandi.

Datangnya pengaruh Hindu

Pada waktu orang Hindu menginjakkan kaki di Bumi Pertiwi, mereka membawa nama hari, bulan dan perhitungan tahun mereka yang kita kenal sebagai tahun SAKA.

Nama dari ketujuh hari tersebut adalah Aditya, Soma, Anggara, Budha, Whraspati, Cukra dan Caniscara. Berhubung intonasinya agak sulit bagi penduduk asli yang bahasanya ngoko jadi medok banget, maka nama Aditya berubah menjadi Radite atau juga Dite. Soma menjadi Somo, Anggara menjadi Anggoro, Budha menjadi Budo, Whraspati menjadi Respati, Cuckra menjadi Sukro, sedangkan Caniscara menjadi Tumpak.

Orangs Hindu ini meluas di Bumi Pertiwi dan dalam menghadapi filosofi Nerimo dan Harmoni di Nusantara yang sangat pasif ini bagi mereka mudah untuk menaklukannya sampai akhirnya mereka berhasil meluaskan ajaran budaya Hindu.

Meskipun nama hari asli Aki Dudung terdesak, namun berkat ke ngeyelan Aki Dudung maka nama-nama tersebut tidak hilang. Belia menggunakan cara “NGERANGKEPI” yaitu dua-dua namanya dipakai sekaligus misalnya Somo Manis untuk Senin Legi, Anggoro Kasih untuk Selasa Kliwon dan Respati Manis untuk Kamis Legi.

Nama hari pasaran tersebut diletakkan dibelakang dan diubah namanya dengan mengambil sinonim dan sifat warna unsurnya.
- Kliwon sinonimnya adalah Kasihan atau Kasih (pancer/Jiwa)
- Legi (unsur udara) sinonimnya Manis, warnanya putih, istilah Jawa Kromonya “Pethak”, diucapkan Pethakan.
- Paing (unsur api) warnanya Merah, istilh Jawa Kromonya “Abrit”, diucapkan Abritan.
- Pon (unsur air) warnanya kuning, istilah Jawa Kromonya “Jene”, diucapkan Jeneyan.
- Wage (unsur tanah) warnanya Hitam, istilah Jawa Kromonya “Cemeng”, diucapkan Cemengan.

Dite Kasih = Minggu Kliwon
Dite Pethakan = Minggu Legi
Dite Abritan = Minggu Paing
Dite Jeneyan = Minggu Pon
Dite Cemengan = Minggu Wage

Somo Kasih = Senen Kliwon
Somo Manis = Senin Legi
Somo Abritan = Senin Paing
Somo Jeneyan = Senin Pon
Somo Cemengan = Senin Wage

Anggoro Kasih = Selasa Kliwon
Anggoro Manis = Selasa Legi
Anggoro Abritan = Selasa Paing
Anggoro Jeneyan = Selasa Pon
Anggoro Cemengan = Selasa Wage

Budo Kasih = Rebo Kliwon
Budo Manis = Rebo Legi
Budo Abritan = Rebo Paing
Budo Jeneyan = Rebo Pon
Budo Cemengan = Rebo Wage

Respati Kasih = Kamis Kliwon
Respati manis = Kamis Legi
Respati Abritan = Kamis Paing
Respati Jeneyan = Kamis Pon
Respati Cemengan = Kamis Wage

Sukro Kasih = Jumat Kliwon
Sukro Manis = Jumat Legi
Sukro Abritan = Jumat Paing
Sukro Jeneyan = Jumat Pon
Sukro Cemengan = Jumat Wage

Tumpak Kasih = Sabtu Kliwon
Tumpak Manis = Sabtu Legi
Tumpak Abritan = Sabtu Paing
Tumpak Jeneyan = Sabtu Pon
Tumpak Cemengan = Sabtu Wage

Maka berkat Resiliensi (ke-ngeyelan) Aki Dudung melalui politik “Ngerangkepi”nya, kita semua hingga kini 62 tahun merdeka dari penjajahan masih bisa mengenal nama hari pasaran tersebut. Bukan hanya pasaran saja tetapi seluruh pengetahuan warisan yang berkaitan dengan pasaran tersebut.

mataangin.gif

Semoga kita semua sadar. Samas menghargai warisan Leluhur kita.

bersambung

No comments: