Tuesday, April 29, 2008

artikel ringan: ATLANTIS

Benua Atlantis Ada di Indonesia?

Benua Atlantis Ada di Indonesia?

JAKARTA -- Para peneliti AS menyatakan bahwa Atlantis
is Indonesia. Hingga kini cerita tentang benua yang
hilang 'Atlantis' masih terselimuti kabut misteri.
Sebagian orang menganggap Atlantis cuma dongeng
belaka, meski tak kurang 5.000 buku soal Atlantis
telah ditulis oleh para pakar.

Bagi para arkeolog atau oceanografer moderen, Atlantis
tetap merupakan obyek menarik terutama soal teka-teki
dimana sebetulnya lokasi sang benua. Banyak ilmuwan
menyebut benua Atlantis terletak di Samudera Atlantik.

Sebagian arkeolog Amerika Serikat (AS) bahkan meyakini
benua Atlantis dulunya adalah sebuah pulau besar
bernama Sunda Land, suatu wilayah yang kini ditempati
Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun
silam, benua itu tenggelam diterjang banjir besar
seiring berakhirnya zaman es.

''Para peneliti AS ini menyatakan bahwa Atlantis is
Indonesia,'' kata Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Prof Umar Anggara Jenny, Jumat
(17/6), di sela-sela rencana gelaran 'International
Symposium on The Dispersal of Austronesian and the
Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago,
28-30 Juni 2005.

Kata Umar, dalam dua dekade terakhir memang diperoleh
banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul
manusia. Salah satu temuan penting ini adalah hipotesa
adanya sebuah pulau besar sekali di Laut Cina Selatan
yang tenggelam setelah zaman es.

Hipotesa itu, kata Umar, berdasarkan pada kajian
ilmiah seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang
arkeologimolekuler. Tema ini, lanjutnya, bahkan akan
menjadi salah satu hal yang diangkat dalam simposium
internasional di Solo, 28-30 Juni.

Menurut Umar, salah satu pulau penting yang tersisa
dari benua Atlantis -- jika memang benar -- adalah
Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler,
penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip
dengan bangsa Austronesia tertua.

Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat
kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa
Atlantis yang disebut-sebut dalam mitos Plato. Ketika
zaman es berakhir, yang ditandai tenggelamnya 'benua
Atlantis', bangsa Austronesia menyebar ke berbagai
penjuru.

Mereka lalu menciptakan keragaman budaya dan bahasa
pada masyarakat lokal yang disinggahinya dalam tempo
cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau. Kini
rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.

Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Harry
Truman Simanjuntak, mengakui memang ada pendapat dari
sebagian pakar yang menyatakan bahwa benua Atlantis
terletak di Indonesia. Namun hal itu masih debatable.

Yang jelas, terang Harry, memang benar ada sebuah
daratan besar yang dahulu kala bernama Sunda Land.
Luas daratan itu kira-kira dua kali negara India.
''Benar, daratan itu hilang. Dan kini tinggal Sumatra,
Jawa atau Kalimantan,'' terang Harry. Menurut dia,
sah-sah saja para ilmuwan mengatakan bahwa wilayah
yang tenggelam itu adalah benua Atlantis yang hilang,
meski itu masih menjadi perdebatan.

Dominasi Austronesia Menurut Umar Anggara Jenny,
Austronesia sebagai rumpun bahasa merupakan sebuah
fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini
memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari
1.200 bahasa yang tersebar dari Madagaskar di barat
hingga Pulau Paskah di Timur. Bahasa tersebut kini
dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang.

''Pertanyaannya dari mana asal-usul mereka? Mengapa
sebarannya begitu meluas dan cepat yakni dalam
3500-5000 tahun yang lalu. Bagaimana cara adaptasinya
sehingga memiliki keragaman budaya yang tinggi,''
tutur Umar.

Salah satu teori, menurut Harry Truman, mengatakan
penutur bahasa Austronesia berasal dari Sunda Land
yang tenggelam di akhir zaman es. Populasi yang sudah
maju, proto-Austronesia, menyebar hingga ke Asia
daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk
lokal dan mengembangkan peradaban. ''Tapi ini masih
diperdebatan.

===============================
artikel lagi:

Tidak hanya Anda yang penasaran dengan keberadaan Atlantis. Para ilmuwan masih berusaha membuktikan keberadaan Atlantis dengan berbagai cara. Penelitian terhadap reruntuhan di dasar lautan karena gempa bumi mendukung bukti-bukti keberadaan kota yang hilang itu.

Keberadaan Atlantis yang dituliskan Plato lebih dari 2.300 tahun lalu menjadi dasar para ilmuwan untuk mencari jejaknya. "Di sanalah terjadi gempa bumi yang dahsyat dan banjir bandang. Dalam sehari semalam yang memilukan... Pulau Atlantis hilang ditelan samudra," tulis Plato. Tapi sampai sekarang keberadaannya masih misterius. Apakah Atlantis benar-benar ada? Jika memang ada, di manakah letaknya dan kapan kota tersebut hilang?

Bukti geologi

Dalam sebuah makalah Geologi, Marc Andre Gutscher, dari European Institute for Marine Studies di Plauzane mengungkapkan ciri-ciri mendetail suatu daerah yang diperkirakan menjadi letaknya. Yaitu, bagian Pulau Spartel yang tenggelam di sebelah barat Selat Gibraltar.

Bagian puncaknya terletak pada jarak sekitar 60 meter di bawah permukaan Teluk Cadiz yang tenggelam karena gelombang pasang di akhir jaman es. Saat itu salju meleleh sehingga menyebabkan permukaan laut naik.

Bukti geologi menunjukkan bahwa gempa yang sangat besar dan tsunami menghantam daerah ini sekitar 12 ribu tahun yang lalu. Cocok dengan hebatnya kerusakan dan waktu kejadian yang digambarkan dalam tulisan Plato.

Gutscher telah menyurvai pulau ini secara mendetail, menggunakan gelombang suara yang dipantulkan ke dasar lautan untuk memetakan bentuk permukaannya. Kemudian, hasilnya dicocokkan dengan informasi yang diperoleh dari para pemburu Atlantis.

Awalnya, kesimpulannya mengecewakan. Saat hilang, Plato menggambarkan bahwa laut di sekitar pantai cukup dalam. Sedangkan berdasarkan pengukuran kedalaman laut saja, Gutscher memperkirakan pulau tersebut mungkin terkikis sedikit demi sedikit oleh gelombang menjadi pulau karang berdiameter 500 meter.

Dari ukuran, terlalu kecil dan mustahil bagi sebuah kota yang luara biasa. Tapi, bentuknya indah. Gutscher mengatakan pulau tersebut mungkin tenggelam jauh sesudahnya karena aktivitas gempa bumi.

Lapisan tanah, pasir, dan lumpur yang bercampur menjadi longsoran di bawah air menunjukkan terjadinya delapan gempa di area ini sejak tenggelamnya Atlantis. Setiap gempa menyebabkan turunnya permukaan dasar laut hingga beberapa meter. Jadi 12 ribu tahun yang lalu, Spartel mungkin 40 meter lebih tinggi daripada yang diperkirakan dan luasnya antara lima hingga dua kilometer.

Mungkin ditemukan?

"Ini akan menjadi bahan diskusi yang menarik," kata Jacques Collina Girard, seorang geolog dari University of the Mediterranean di Alix-en-Provence yang mengusulkan Spartel sebagai kandidat Atlantis beberapa tahun yang lalu.

"Belum tentu pulau tersebut didiami penduduk," kata Gutscher. Pada konferensi para peneliti Atlantis di Yunani bulan ini, ia menjadi yakin bahwa kota luar biasa yang digambarkan oleh beberapa orang itu tidak bertahan dalam waktu lama. "Kalaupun ada, mungkin dihuni nelayan sederhana dan bukan oleh masyarakat berbudaya Jaman Perunggu sebagaimana digambarkan Plato," katanya.

Jaman Perunggu biasanya didefinisikan mulai 5.000 tahun yang lalu. Gutscher menambahkan bahwa data pantulan gelombang suara tidak menghasilkan struktur geometri yang unik. Artinya, kemungkinan besar tidak ada peradaban manusia di sana.

Menurutnya, orang-orang Mesir yang menceritakan Atlantis kepada Plato telah menggunakan definisi waktu yang berbeda. Kerusakan Atlantis tidak selama yang diperkirakan.

Konferensi di Yunani tidak menghasilkan kesimpulan tentang keberadaan kota yang hilang. Tapi, para peneliti sepakat untuk menyetujui 24 kriteria yang harus dipenuhi untuk mengklaim keberadaan Atlantis. Antara lain, tempat tersebut harus memiliki mata air panas, arah angin menuju utara, gajah, cukup orang sebagai tentara bagi 10 ribu kereta perang, dan ritual pengorbanan sapi.

Sekarang, ada lusinan kandidat lokasi Atlantis dan masing-masing memiliki kekurangan. Beberapa ilmuwan ragu bahwa penentuan ini mustahil dipenuhi. "Sifat geofisiknya sesuai dan bentuk geologinya mengagumkan," kata geolog Floyd McCoy dari University of Hawaii menanggapi penelitian Gutscher. "Tapi, setiap deskripsi Plato tentang Atlantis begitu ambigu dan penuh penafsiran," tambahnya.

Menurutnya, dengan menafsirkan informasi apa adanya berdasarkan teks kuno yang kita miliki, mungkin Atlantis tidak akan pernah ditemukan. Kecuali, jika Atlantis benar-benar pernah ada.

=======================================

ATLANTIS: Fakta, Fiksi atau Kebohongan Belaka?

gua jugha ada sedikit cerita ttg Bangsa Atlantis nih [klo ngga salah ini jugha]


pada jaman 9000 tahun sebelum masehi terdapat suatu bangsa yang memiliki teknologi tinggi? Paling tidak itu yang ada dalam benak para pemikir saat membicarakan tentang suatu negara bernama Atlantis, padahal kita sendiri tidak tahu apakah Atlantis, suatu negara yang kabarnya tenggelam di lautan luas, memang betul-betul ada atau sekedar dongeng yang diceritakan turun temurun.

Cerita tentang Atlantis dimulai dari pulau Atlantis,tempat tinggal Poseidon, dewa penguasa laut. Saat Poseidon jatuh cinta dengan seorang wanita biasa bernama Cleito, dia membangun tempat tinggal di puncak gunung yang berlokasi di tengah kepulauan tersebut dan tempat tersebut dikelilingi air berbentuk lingkaran dan dataran untuk melindunginya.

Cleito melahirkan lima pasang putra kembar yang menjadi penguasa pertama Atlantis. Pulau tersebut kemudian dibagi diantara kakak beradik. Anak tertua Poseidon, Atlas, merupakan raja pertama pulau Atlantis, dia mengontrol pegunungan pusat dan daerah sekitarnya.

Di puncak gunung pusat, sebuah kuil dibangun untuk menghormati Poseidon. Dalam kuil tersebut terdapat sebuah patung raksasa Poseidon mengendarai kuda bersayap yang terbuat dari emas. Disinilah tempat para penguasa Atlantis membicarakan masalah hukum, memberikan hukuman, dan memberikan rasa hormat mereka pada Poseidon.

Untuk jalan dan perdagangan mereka, sebuah kanal air dibuat melewati lingkaran air tersebut dan airpun mengalir di sebelah Selatan sejarak 5.5 mil yang menuju ke arah laut. Kota Atlantisnya sendiri berada di luar lingkaran air dan menyebar di dataran tersebut sekitar 11 mil, dan sebagian besar penduduk tinggal di tempat tersebut.

Dibelakang kota tersebut terdapat dataran subur sepanjang 330 mil dan selebar 110 mil (190km) dikelilingi kanal lain yang dipergunakan untuk mengumpulkan air dari sungai dan aliran air dari gunung. Cuacanya sangat ideal sehingga mereka dapat melakukan panen dua kali setiap tahunnya. Sekali pada musim dingin, dengan air hujan sebagai penyiram tanaman dan sekali pada musim panas dengan pengairan dari kanal.

Selama bertahun-tahun masyarakat Atlantis hidup dengan sederhana, dan hidup dengan mulianya. Tetapi perlahan-lahan mereka mulai berubah. Keserakahan serta kehausan atas kekuasan membuat mereka rusak. Saat Zeus mengetahui ketidakbermoralan masyarakat Atlantis, ia mengumpulkan para dewa dan memutuskan hukuman yang setimpal untuk masyarakatnya. Kemudian datang ombak besar yang menenggelamkan kota Atlantis, masyarakat dan kenangan akan tempat tersebut, hilang tertelan laut.

Itulah sedikit kisah tentang keberadaan Atlantis, lalu darimana asal cerita tersebut, dan negara yang bernama Atlantis itu benar-benar ada?Let's Check it out.

Kisah tentang keberadaan Atlantis sebenarnya dimulai dengan munculnya dua dialog yang ditulis oleh Plato, seorang filosofis asal Yunani yang hidup di tahun 427-347 B.C. (tidak ada catatan yang tepat kapan dan dimana Plato dilahirkan serta tanggal kematiannya). Plato adalah murid seorang filosofis Yunani terkenal, Socrates yang tewas pada tahun 399 Sebelum masehi, ditangan para penguasa Athena. Setelah kematian gurunya, Plato melakukan perjalanan, dan Mesir merupakan salah satu tempat yang pernah ia kunjungi. Pada tahun 387 sebelum masehi dia kembali ke Athena dan membangun sekolah yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan filosofi, ia pun menjadi panutan bagi pelajar univeristas modern. Salah satu murid filosofi yang terkenal memberikan dampak tersendiri bagi pemikiran filosofi sampai saat ini adalah Aristotle.

Anyways, dialog yang dibuat Plato adalah dialog antara Timaeus dan Critias, mungkin dialog inilah satu-satunya catatan nyata tentang keberadaan Atlantis. Dialog tersebut merupakan percakapan antara Socrates, Hermocrates, Timeaus dan Critias. Rupanya itu merupakan jawaban dari pembicaraan Socrates terdahulu tentang masyarakat ideal, Timeaus dan Critias setuju untuk menyenangkan Socrates dengan dongeng yang katanya bukan sekedar fiksi tetapi juga cerita yang sebenarnya.

Cerita itu mengenai masyarakat Athena kuno dan Masyarakat Atlantis 9000 tahun sebelum Plato lahir. Pengetahuan luar yang rupanya sudah terlupakan oleh masyarakat Athena pada era Plato, tentang keberadaan masyarakat Atlantis. Cerita tersebut diberitahukan ke Solon seorang pendeta Mesir. Solon kemudian meneruskan cerita tersebut ke Dropides, kakek buyut Critias. Critias mendengar cerita itu dari kakeknya yang juga bernama Critias.

Mungkin cerita tersebut tidak membuat kita yakin akan keberadaan Atlantis, tetapi mungkin fakta tentang keberadaan mumi 'tertua' yang saat ini berada di Musium Negara bagian Nevada membuat Anda tertarik. Memang pada kenyataannya tak ada bukti tentang keberadaan sebuah masyarakat yang mampu berpikir pada jaman itu, tetapi pada tahun 1940 di Nevada ditemukan mumi yang kabarnya berumur 2000 tahun. Tetapi menurut penelitian dengan radiocarbon menunjukan kalau mumi itu berumur 9.400 tahun, berarti ia dari jaman 7400 sebelum masehi.

Mumi tersebut menggunakan moccasins dan pakaian yang terbuat dari anyaman serta tumbuh-tumbuhan, bahkan pakaian tersebut teranyam dengan rapi seperti menggunakan mesin rajutan. Jika penemuan ini benar maka kenyataan bahwa 9000 tahun yang lalu ada masyarakat yang berpikiran maju itu benar-benar ada.

sumber: Kaskus, forum education
thread: Benua Atlantis Ada di Indonesia (ts: Bathara Semar)

Monday, April 14, 2008

TANTRAYANA (... dan perkembangannya di Indonesia)




Rakyat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, sejak dahulu memeluk agama yang berbeda-beda. Tantrayana adalah suatu aliran atau sekte yang pada masa lampau pernah cukup banyak pemeluknya dan berkembang luas di Indonesia; bahkan raja Kertanegara dari kerajaan Singasari adalah seorang penganut yang taat dari agama Budha Tantra.

Raja Kertanegara dari kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah seorang raja yang sangat taat melaksanakan ajaran Tantrayana. Beliau hidup berpesta pora di dalam istana bersama-sama dengan mentri-mentri dan para pendeta terkemuka. Bahkan ketika Singasari diserbu oleh pasukan kerajaan Kediri pun mereka sedang mengadakan pesta pora, tetapi upacara pesta pora, makan minum besar-besaran tersebut bukan sebagai pesta biasa, melainkan raja bersama para mentri dan pendeta itu sedang melakukan upacara-upacara Tantrayana (Soekmono, 1959 : 60).

Untuk mengungkapkan perkembangan Tantrayana di Bali maka uraian tidak bisa lepas dari hubungan Bali dengan Jawa Timur, yang dimulai dengan perkimpoian raja Dharma Udayana Warmadewa di Bali dengan seorang putri raja Jawa Timur yang bernama Sri Gunapriyadharmapatni. Beliau adalah putri Makutawangsawardhana, sedangkan Makutawangsawardhana adalah cucu raja Sindok. Pada masa pemerintahan Raja Sindok di Jawa Timur Tantrayana telah berkembang. Pada waktu itu telah disusun kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang menguraikan soal-soal ajaran dan ibadah agama Budha Tantra. Kemungkinan bahwa Sri Gunapriyadharmapatni atau Mahendradhatta pun telah terpengaruh oleh aliran itu di tempat asalnya di Jawa timur, sebab di Bali jaman pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa dan Gunapriyadharmapatni merupakan jaman hidup suburnya perkembangan ilmu-ilmu gaib. Cerita Calon Arang yang sangat terkenal di Bali dihubungkan dengan kehidupan Mahendradhatta. Di dalam Lontar Calon arang ada diuraikan bagaimana memuja Hyang Bhairawi atau Dewi Durga untuk mendatangkan wabah penyakit di dalam negeri Kerajaan Airlangga. Calon arang dan muridnya menari-nari di atas mayat-mayat yang telah dihidupkan kembali untuk persembahan Dewi Durga sebagai korban agar semua kehendaknya bisa dikabulkan. Cara-cara seperti itu adalah hal yang biasa di dalam Tantrayana.

Permaisuri Mahendradhatta mangkat lebih dahulu dari raja Udayana dan didharmakan di Burwan, Kutri, Gianyar. Di tempat itu beliau diwujudkan dalam bentuk arca besar Durgamahisasuramardhini. Arca itu merupakan Bhatari Durga yang sedang membunuh asura (setan) yang berada pada badan seekor kerbau besar (Goris, 1048 : 6). Arca itu menguatkan dugaan orang bahwa Mahendradhatta sebagai penganut ajaran-ajaran ilmu gaib dan Dewi Durgalah yang menganugerahi kesaktian (Shastri, 1963 : 49). Kendatipun dalam cerita calon arang banyak keadaan yang bercampur baur dan keliru, tapi mungkin ada dasar-dasarnya yang benar bahwa Mahendradhatta dilukiskan sebagai Calon Arang (Goris, 1948 : 7). Dengan demikian maka kemungkinan pada sekitar abad X Tantrayana telah berkembang di Bali.

Kemudian pada sekitar abad XIII di Jawa Timur memerintah raja Kertanegara sebagai raja terakhir kerajaan Singasari. Raja ini terkenal dalam ilmu politik luar negerinya ingin meluaskan daerah kekuasaannya ke Barat sampai ke Bali. Menurut kitab Negarakertagama raja Kertagama pada tahun 1280 masehi membunuh orang jahat yang bernama Mahisa Rangkah dan selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 1284 beliau telah menyerang Bali dan rajanya ditawan (Krom, 1956 : 188). Hal itu tercantum dalam kitab Negarakertagama di katakana sebagai berikut :

Tahun saka : yama sunti hari baginda raja membrantas penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkah lakunya dibenci seluruh negara. Tahun saka : badan-badan langit hari kirim utusan untuk menghancurkan Bali setelah kalah rajanya menghadap baginda sebagai orang tawanan (Prapanca, 1953 : 38).

Sayang sekali di dalam buku Negarakertagama itu tidak ada disebutkan nama raja Bali itu. Prasastinya hingga kini belum ditemukan di Bali, sehingga sulit bagi kita untuk mengetahui nama-nama raja di Bali pada waktu itu. Dr. R. Goris di dalam kitabnya Sejarah Bali Kuna (1948) menyebutkan bahwa ada dua buah prasasti yang berangka tahun caka 1218 dan caka 1222, yang tidak menyebutkan nama raja, tetapi banyak menyebutkan nama “Raja Patih” yakni Kebo Parud. Nama-nama dan pangkat mentri lainnya juga bercorak Jawa seperti mentri-mentri kerajaan Singasari.

Prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Kebo Parud berangka tahun caka 1218 berisikan persoalan dan kebengisan. Patih di dalam prasasti itu dikenal sebagai “Mwang Ida Raja Patih I mekakasir Kebo Parud” (Goris, 1948 : 11). Berdasarkan nama patih itu dan isi prasasti ternyata patih itu seorang pegawai negara yang berasal dari Jawa Timur. Nama semacam itu di Kerajaan Singasari sering dipakai sebagai nama patih raja Kertanegara antara lain Patih Kebo Arema dan Raganatha, Patih Kebo Tengah atau Aragani. Kemungkinan Patih Kebo Parud bertugas sebagai seorang Gubernur atau semacam itu yang mewakili pemeritah Singasari di Bali. Prasasti lainnya dari Kebo Parud berangka tahun caka 1222 yang menguraikan tentang desa Sukawati yang terletak di perbatasan Min Balingkang. Dalam prasasti ini terdapat kata-kata ; Mpukwing, Dharma Anyar, Mpukwing istana raja, Mpukwing dewa istana. Agama yang dianut Patih Kebo Parud rupa-rupanya adalah Tantrayana. Dalam prasasti-prasastinya pun tidak terdapat sapatha yang ditujukan kepada Maha Rsi Agastya, sering terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali yang dikeluarkan lebih dahulu.

Pada sekitar abad ke XIII di kerajaan Singasari Jawa Timur memang sedang berkembang bahkan menjadi pusat alian Tantrayana dan sebagai pemimpinnya adalah raja Kertanegara sendiri yang memerintah tahun 1268 - 1292.

Dari jaman Kebo Parud di Bali, didaerah Pejeng didapatkan sebuah arca Bhaiwara. Arca itu tingginya 360 cm dengan bentuk badannya yang besar dan tegap, berdiri di atas mayat manusia. Bentuknya yang demikian menunjukkan dewa Siwa dalam keadaan marah (krodha). Arca di tempatkan pada satu bangunan yang disebut Pelinggih Bhatara Siwa Bhairawa. Bentuk arca itu serupa dengan arca Bhairawa di Singasari. Kemungkinan besar bahwa latihan-latihan Tantrayana dilakukan pula pada masa pemerintahan pegawai-pegawai kerajaan Singasari di Bali. Arca Bhairawa yang terdapat di daerah Pejeng itu disimpan di daerah Pura Kebo Edan. Sebutan Siwa Bhairawa oleh penduduk di sekitar pura itu menunjukkan bahwa arca itu adalah sebuah arca yang dibuat oleh para penganut Tantrayana untuk kepentingan upacara-upacara kepercayaan.

Selain arca Siwa Bhairawa tersebut di atas, di halaman pura Kebo Edan terdapat pula arca-arca raksasa. Satu arca itu ditempatkan pada satu bangunan kecil di muka sebelah kanan arca Siwa Bhairawa, sedangkan satu lagi ditempatkan pada satu bangunan di sebut Pelinggih Bhatara Kebo Edan. Kedua arca raksasa masing-masing tangannya membawa mangkok-mangkok darah yang dihiasi dengan hiasan-hiasan tengkorak. arca-arca itu dalam sikap berdiri, roman mukanya sangat mengerikan dengan mata melotot. Demikian pula seluruh kepala dan lehernya dihiasi dengan rangkaian tengkorak, sambil mengisap darah musuhnya dari mangkok darah yang dibawanya. Telinganya menggunakan anting-anting dengan hiasan tengkorak pula. Kedua arca itu mempunyai tinggi sama yaitu 130 cm.

Arca-arca tersebut di atas mengingatkan akan nama Chakrachakra yaitu sebuah arca Bhairawa di candi Singasari, Jawa Timur, yang tingginya 167 cm. Arca itu duduk di atas seekor anjing atau Srigala dalam keadaan telanjang bulat dengan hiasan-hiasan tengkorak dan kepala-kepala manusia pada seluruh badannya. Atribut pada tangan arca ialah sebuah pisau besar, trisula, gendang, dan mangkok tengkorak.

Arca serupa juga terdapat di Candi Biaro Bahal II, Padang Lawas, Batak dan Sumatra Tengah. Di tengah-tengah ruangan candi terdapat sebuah arca Heruka bersifat mengahncurkan. Wajahnya selalu membayangkan sifat merusak dan lebih hebat lagi terlihat pada saat dewa kejam itu sedang dalam puncak kemarahannya. Demikianlah pada jaman itu di candi Biaro Bahal itu telah diadakan upacara sukar ria yang melampui batas dan sangat menggemparkan dimana darah para korban di tumpahkan kedalam sungai. Dewa menari-nari di atas mayat manusia. Atribut arca Heruka ialah wajra atau kilap disertai petir pada tangan kanan, mangkuk tengkorak pada tangan kiri, tangkai katwanggu (Trisula dihiasi dengan tengkorak-tengkorak, kepala manusia dan sebagainya) menekan pada badannya. Tengkorak-tengkorak menghiasi kepala dan badannya. Keajaiban seperti itu dalam upacara-upacara Tantrayana adalah biasa dan merupakan keharusan disertai dengan tertawa yang hebat, hal itu dipahatkan dalam salah satu prasasti di Padang Lawas : ha - ha - ha - ha - ha - hum hu - hu - he - hai hohu- aha - ha - om ah hum. Demikianlah gelak tertawa yang terpahat pada sebuah prasasti.

Dengan demikian rupanya pembuatan arca-arca Siwa Bhairawa dengan sikpanya yang dahsyat dan garang serta menari-nari di atas mayat manusia. Juga arca-arca raksasa yang membawa mangkuk-mangkuk darah sambil menghisap darah dari dalam mangkuk-mangkuk darah serta kerbau gila di pura Kebo Edan, kemungkinan besar dibuat adalah dalam hubungan kepentingan melakukan upacara Tantrayana. Demikianlah pada sekitar abad XIII Tantrayana Siwa Tantra atau Siwa Bhairawa berkembang luas di Bali.

Jadi Tantrayana pernah berkembang luas di Indonesia khususnya di Bali dalam bentuknya Siwa Tantra atau lebih dikenal dengan Siwa Bhairawa. Perkembangannya telah mulai terlihat sejak pemeritahan raja Dharma Udayana Warmadewa yang didampingi permaisurinya Mahendradhatta pada lebih kurang abad X. Dalam hal ini Mahendradhatta sebagai Calon Arang atau Rangda ing girah bersama murid-muridnya sebagai penganut Tantrayana memuja Dewi Durga untuk mendapatkan ilmu gaib, kesaktian agar terkabul segala kehendaknya.

Pada sekitar abad ke XIII pada jaman Kebo Parud di Bali Tantrayana juga dilaksanakan dengan tekun oleh Kebo Parud dan pegawai-pegawai Singasari lainnya yang bertugas di Bali pada saat itu.

Selanjutnya sesudah abad ke XIV tidak terdapat bukti-bukti lagi mengenai perkembangan Tantrayana itu. Kemungkinan bahwa setelah mengalami perkembangan yang meluas baik di Jawa, Sumatra, maupun di Bali, maka Tantrayana setelah abad XIV mengalami kemunduran. Sebab-sebab kemundurannya itu mungkin pula disebabkan oleh kemajuan cara berpikir manusia sehingga orang-orang menyadari bahwa arca-arca yang demikian atau sama sekali tidak sesuai dengan kemajuan jaman selanjutnya. Banyak upacara-upacara Tantrayana itu yang sangat bertentangan dengan kesopanan, tata susila, kemanusiaan dan hal yang tidak pantas dilakukan oleh orang biasa.

Lebih-lebih lagi pada saat sekarang dalam hal ini Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, maka cara-cara 5 ma dan lainnya dari Tantrayana tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila dan kepribadian bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya Tantrayana pada akhirnya lenyap dari bumi Indonesia karena cara-cara pelaksanannya upacara Tantrayana itu terlalu bebas memberi kesempatan bagi setiap orang untuk memenuhi nafsu keduniawian dengan 5 ma-nya. Kemungkinan para penganut Tantrayana itu memang melaksanakan 5 ma itu dengan penuh kesadaran dan tujuan untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), sehingga melakukan 5 ma itu bukanlah merupakan nafsu dan kenikmatan duniawi. Tetapi cara-cara itu sangatlah sukar bisa dilaksanakan bagi orang biasa.

Demikianlah akhirnya Tantrayana itu tidak ada lagi sisa pemeluknya khususnya baik di Bali maupun di Jawa dan Sumatra.

Namun dalam beberapa hal faham Tantra hingga kini masih terlihat pengaruhnya, di Bali baik di bidang kesusastraan maupun seni pengaruh Tantrayana masih terlihat. Cerita calon arang, cerita yang sangat terkenal dan masih tetap semangat digemari oleh masyarakat Bali. Cerita calon arang melukiskan pertentangan antara raja Airlangga dengan para pengikut ilmu gaib dari aliran Tantrayana. Cerita ini hingga sekarang masih dilakonkan dalam bentuk seni tari. Mungkin banyak yang sangat terkenal dan masih ada di Bali sekarang merupakan sisa-sisa pengaruh Tantrayana yang masih terlihat sampai sekarang ialah sengguhu di Bali mempergunakan atribut kalachakra : sangku putih, genderang tangan dan genta (atribut menari dari Siwa Bhairawa) tergantung di atas sebuah chakra dengan sebuah pegangan atau tangkai garuda.

Apabila kita perhatikan dan kita amati secara lebih mendalam lagi pada buku Panca Yadnya khususnya mengenai upacara Bhuta Yadnya. Bahwa Bhuta Yadnya yang tidak lain adalah korban kepada Bhutakala, adalah bersumber dari ajaran keagamaan Tantrayana. Tantrayana termasuk sekta atau saktiisme, karena yang dijadikan objek persembahannya adalah sakti. Sakti dilukiskan sebagai Dewi sumber kekuatan atau tenaga. Sakti adalah simbol dari bala atau kekuatan (Sakti is the symbol of Bala or strength) (Das Gupta, 1955 : 100). Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau kala (This sakti or energi is also regarded as “kala” or time) (Das Gupta, ibid).

Dengan demikian Saktiisme sama dengan kalaisme. sekte keagamaan kalaisme disebut juga Kalamuka atau kalikas dan disebut juga Kapalikas. Sekte ini sejenis dengan aliran bhairawa atau Tantrayana kiri. Pengikut dari sekte ini di India kebanyakan dari suku Dravida, penduduk asli India, dari pendekatan Antropologi budaya, kepercayaan sejenis ini disebut Dynamisme.

Oleh karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India maka juga disebut Sudra Kapalikas. Pengikut ini tidak percaya kepada sistem kasta dan pengikut ini selalu melaksanakan Panca Ma sebagai bagian dari pelaksanaan ritual mereka. Panca Ma ( 5 ma) itu adalah : makan daging (mamsa), makan ikan (matsya), minum-minuman keras (mada), mudra (melakukan gerak tangan), mythuna (mengadakan hubungan cinta yang berlebih-lebihan). Ajaran ini hanya bersifat pemuasan nafsu dan dikucilkan dari Weda. Aliran ini memuja Dewi sebagai ibu, baik Bhairawi, Ibu Durga maupun Kali. Mereka adalah super matrial power.

Ibu Durga atau Bhairawi inilah yang melahirkan para bhuta-bhuti dengan kekayaan yoganya. Perihal penciptaan ini banyak diuraikan dalam berbagai lontar yang bersifat Tantrayana di Bali.

Tapi dalam Dharma Sastra, para bhutakala ini yang termasuk golongan Sadya adalah diciptakan oleh Brahman. Golongan Sadya itu terdiri dari makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari Dewa-dewa, mereka mempunyai sifat bermacam-macam. Menurut Manawa Dharma Sastra III. 196, golongan Sadya ini terdiri dari berbagai jenis Daitya, Danawa, Raksasa, Yaksa, Randharwa, Naga, Suparna dan Kimnara.

Daitya, Danawa, Raksasa, Yaksa dan makhluk astral rendahan lainnya seperti peri, setan, jin dan lain-lain adalah tergolong bhuta-bhutani. Semua golongan ini termasuk tingkat sadya yang diciptakan oleh Brahman.

Bhuta-bhutani yang disebut-sebut dalam sastra mempunyai sifat krodha yang artinya marah. Kelompok ini sebagai makhluk astral sangatlah ditakuti, karena sifatnya menganggu.

Raksasa adalah sejenis bhuta pula, termasuk didalamnya adalah Yaksa, Naga, Yatudhana dan Pisaca, kelompok ini juga disebut Krodhawangsa. Kelompok ini biasanya diberi tugas sebagai pelindung atau penjaga pintu sorga atau neraka termasuk kawah. Ceritera tentang kelompok raksasa ini banyak kita jumpai dalam ceritera Mahabharata.

Yatudhana dan Panlastya adalah sejenis raksasa pula, karena kesaktiannya dapat memperlihatkan dirinya sesuai dengan kemauannya.

Paisaca adalah raksasa pula, tapi ukurannya lebih kecil dan sifatnya adalah mengganggu dan pemarah.

Asura adalah kelompok makhluk astral yang sifatnya bertentangan dengan dewa-dewa. Sifatnya sama pula dengan raksasa. Kelompok asura ini antara lain Danawa dan Aditya.

Setan adalah kelompok makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari makhluk astra di atas. Mereka tergolong bhuta juga. Dalam Atharwa Weda dikenal nama-nama setan seperti setan golongan Sadhanwa, setan sebagai pisaci yang dinamakan magundi. Mereka adalah pengganggu keharmonisan atau ketentraman di dunia ini, oleh karena itu harus diusir dengan doa-doa yang berseranakan jimat (lihat Atharwa Weda, Sukta IX, hal. 51).

Dalam lontar Bhumi Kamulan menguraikan bahwa Siwa sebagai Tuhan, menurunkan Korsika, Gargha, Maitri dan Kurusya. Keempat putra ini disuruh menciptakan alam semesta, tapi tidak mau maka ia dikutukNya menjadi bhutakala, lalu diciptakanlah Pratanjala ia sanggup menciptakan dunia beserta isinya. Mula-mula tercipta para dewa-dewa, widyadhara-widyadhari, gandharwa, Kim nara semua ini makhluk halus yang bertabiat kasar seperti raksasa, danawa, pisaca, daitya, semuanya makhluk halus yang menyeramkan. Berikutnya sampailah diciptakan makhluk halus yang terendah yaitu jin, setan, bragala, memedi, tonye dan lain-lainnya berupa jenis bhuta yang memenuhi ruang dan waktu. Di lain pihak sang pencipta (Dewi Uma) tanpa disadari telah berubah wujud menjadi aheng, bertaring, berambut gimbal, tubuh dan mulutnya membesar. Demikianlah Uma telah berubah menjadi Durga. Melihat Uma menjadi Durga maka Pretanjalapun merubah dirinya kedalam wujud ganas, aheng (angker) yang disebut Mahakala. Semua makhluk halus, kasar, aheng dan angker ciptaanNya menjadi bawahannya. Mereka tinggal ditempat-tempat yang angker dan menyeramkan seperti pada jurang, pangkung, hutan, setra dan sebagainya. Para bhuta makhluk halus terendah menempati tempat-tempat yang kotor, aliran air, tempat sampah-sampah dan sebagainya.

Durga Mahakala dengan Vadvanya ini lalu menjadi ancaman terhadap dunia ini. Ia menimbulkan penyakit, membunuh makhluk seisi dunia ini maka sorgapun menjadi gentar. Oleh karena itu diperintahkan turun Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara, untuk membersihkan alam ini, dan menyucikan kembali Dirga Mahakala agar kembali menjadi somya, lalu Brahma menjadi Rsi, Wisnu menjadi Bujangga Waisnawa dan Iswara menjadi Pedanda, ketiga ini di sebuat Trisadhaka.

Demikianlah uraian lontar Bumi Kamulan atau Bhumi Sivagama menguraikan sebagai berikut. Karena kesalahan Dewi Uma, maka Bhatara Guru mengutukNya, lalu ia turun ke dunia menjadi Durga dalam wujud lima durga, yaitu Sri Durga berkedudukan di Timur, Raji Durga berkedudukan di Utara, Suksmi Durga berkedudukan di Barat dan Dahri Durga berkedudukan di Selatan dan Dewi Durga berkedudukan di Tengah.

Sri Durga beryoga menciptakan Kalika-kaliki, Yaksa-yaksi, Bhuta Dengen. Rajiyoga beryoga mengadakan Jin, Setan, Bragala-bragali, Bebai dan segala jenis penyakit. Dhari Duga lalu mengadakan Sangbhuta Kapiragan, Suksmi Durga mengadakan Kamala-kamali, Kala Sweta dan lain-lain. Sedangkan Dewi Durga beryoga mengadakan Panca Bhuta, yaitu : Bhuta Janggitan, Bhuta Langkiir, Lembu Kere, Bhuta Iruna dan Bhuta Tiga Sakti. Melihat Uma menjadi Durga, maka Betara Guru pun mengutuk dirinya menjadi Kala Rudra. Karena sentuhan Kala Rudra ini pada diri Durga, maka terciptalah Bhuta Kala yang memenuhi ruang dan waktu. Kemudian dalam perkimpoian Kala Rudra dengan Durga lahirlah Bhatara Kala.

Dalam Lontar Pangiwa, Ratuning I Macaling di sebut-sebut adanya Sasuhunan ring tengahing samudra dengan pepatihnya I Ratu Gede mecaling. Bhatari ini juga dikenal dengan nama Ratu Kasuhun Kidul atau Nyi Roro Kidul kalau di Jawa. Di Bali Beliau inilah yang memegang kekuasaan atas makhluk halus yang menyeramkan itu, termasuk para bhutakala-bhutakali. Menjelang sasih ke enam beliau dengan Vadvanya pergi kedesa-desa yang dapat menimbulkan penyakit, baik bagi manusia maupun binatang, agar manusia, binatang dan alam lingkungannya tidak terganggu makhluk halus angker dan ciptaan Durga lainnya, maka diperlukan suatu usaha untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan dengan mempersembahkan caru atau menyadakan pecaruan.

Perlu digarisbawahi bahwa para praktisi Tantra menyatakan bahwa tujuan utama dari Tantra adalah sama seperti tujuan Weda yaitu mencapai Tuhan dan kebenaran, pengetahuan dan kebahagiaan yang merupakan atribut dari yang absolut. Menurut Kularnawa Tantra, Veda atau Sruti adalah apa yang diingatkan untuk jaman Tretayuga. Sedangkan Purana atu epos besar yang pernah ada adalah yang menjadi bahan perbandingan untuk lebih memahami ajaran Sruti dan Smrti tadi.

Akhirnya, dinyatkan bahwa Tantra adalah ajaran yang dikhususkan untuk jaman Kaliyuga. Mereka menyatakan bahwa tidak mungkin pada jaman Kaliyuga ini, untuk melakukan ritual yang sedemikian rumit dan berbagai tirakat yang terdapat di dalam Veda, akan tetapi alternatifnya adalah melatih Tantra yoga yang akan menuntun pada tujuan yang sama dan juga sekaligus memenuhi kebutuhan manusia (Tantra, hal. 183-184).

Demikianlah sekilas mengenai Tantrayana dan perkembangannya di Indonesia.

Friday, April 11, 2008

[Menggali Kebudayaan Lokal] Hakekat Sadulur Papat Limo Pancer

artikel ini di copy paste dari wiedjaya


Hakekat Sadulur Papat Limo Pancer

Hakekat pokok yang tercantum dalam Sadulur Papat Limo Pancer adalah penggambaran hubungan antara manusia dengan Gusti Allahnya dan juga dengan alam disekelilingnya.

Aki Dudung sudah mengenal Gusti Allah yang menjadi bagian dari dirinya/sukmanya dan dilambangkan sebagai Bathara Kliwon, ke 4 nafsu manusia yaitu mutmainah, amarah, sufiah, laumah, dilambangkan sebagai personality dari Bathara Legi, Bathara, Paing, Bathara Pon, Bathara Wage yang mempunyai pengaruh pada dirinya dalam berinteraksi dengan lingkungannya, baik manusia, hewan maupun alam.

Bagi yang kurang memahami, dan hanya melihat dari luarnya saja, sangat mudah untuk memberikan vonis bahwa ajaran yang diturunkan oleh Aki Dudung belum mengenal Ke Esa-annya Gusti Allah. Padahal sesungguhnya Aki Dudung sudah lebih jauh mendalami hubungan antara Gusti Allah-Manusia dan Alam, yang dilukiskan dalam kepercayaan SADULUR PAPAT LIMO PANCER ini.

Kepercayaan tersebut tentunya telah dijadikan fondasi dari Kerajaan Pertama di Bumi Nusantara dan diajarkan kepada rakyatnya selama beratus mungkin beribu tahun sehingga melekat menjadi bagian dari Gene di tubuh manusia Nusantara. Berbagai macam agama masuk ke bumi Nusantara, mulai dari Hindu, Budha, Islam sampai dengan Kristen, tetapi tetap saja “Sadulur Papat Limo Pancer” ini hidup diantara ajaran-ajaran baru tersebut.

Warisan Aki Dudung sifatnya invisible, tidak bisa dilihat atau diraba, tetapi bisa dirasakan, pengaruh ajaran kerajaannya masih tetap kuat beredar dikalangan masyarakat Nusantara.

SERAT PAWUKON

1. Pasaran Legi lungguhe wetan, kuthane seloko, segarane santen, manuke kuntul, aksarane Ho-No-Co-Ro-Ko. (Pasaran Legi berkedudukan di timur, kotanya perak/putih, lautnya santan/putih, burungnya kuntul/putih, hurufnya Ho-No-Co-Ro-Ko).
2. Pasaran Paing lungguhe kidul, kuthane tembogo, segarane getih, manuke wolung, aksarane Do-To-So-Wo-Lo. (Pasaran Paing berkedudukan di selatan kotanya tembaga/merah, lautnya darah/merah, burungnya rajawali/merah, hurufnya Do-To-So-Wo-Lo).
3. Pasaran Pon lungguhe kulon, kuthane kencono, segarane madu, manuke podhang, aksarane Po-Dho-Jo-Yo-Nyo. (Pasaran Pon berkedudukan di barat, kotanya emas/kuning, lautnya madu/kuning, burungnya podhang/kuning, hurufnya Po-Dho-Jo-Yo-Nyo).
4. Pasaran Wage lungguhane lor, kuthane wesi, segarane nilo, manuke gagak, aksarane Mo-Go-Bo-Tho-Ngo. (Pasaran Wage berkedudukan di utara, kotanya besi/hitam, lautnya nila/hitam, burungnya gagak/hitam, hurufnya Mo-Go-Bo-Tho-Ngo).
5. Pasaran Kliwon lungguhe tengah, kuthane prungu, segarane wedang, manuke gogik, aksarane ongko 1-9. (Pasaran Kliwon, berkedudukan di tengah, kotanya perungu/bermacam warna, lautnya wedang/bermacam warna, burungnya gogik/bulunya bermacam warna, hurufnya angka 1-9).

SERAT CENTHINI

1. Wetan : Legi, kuthane perak, langsene seto, manuke kuntul, jaladrine santen, sastrane Ho-No-Co-Ro-Ko. (Timur : Legi, kotanya perak/putih, kelambunya putih, burungnya kuntul/putih, hurufnya Ho-No-Co-Ro-Ko).
2. Duksino : Paing, kuthane swoso, lengsene rekto, manuke wolung, jaladrine ludiro, sastrane Do-To-So-Wo-Lo. (Selatan : Paing, kotanya emas campur tembaga/merah, kelambunya merah, burungnya elang/merah, lautnya darah/merah, hurufnya Do-To-So-Wo-Lo).
3. Pracimo : Pon, kuthane mas, langsene pito, manuke podhang, jaladrine madu, sasreane Po-Dho-Jo-Yo-Nyo (Barat : Pon kotamya emas/kuning, kelambunya kuning, burungnya podhang/kuning, lautnya madu/kuning, hurufnya Po-Dho-Jo-Yo-Nyo)
4. Utoro : Wage kuthane wesi, langsene wulung, manuke dhandang, jaladrine nilo, sastrane Mo-Go-Bo-Tho-Ngo. (Utara : Wage, kotanya besi/hitam, kelambunya hitam, burungnya gagak/hitam, lautnya nila/hitam, hurufnya Mo-Go-Bo-Tho-Ngo).
5. Madyantoro : Kliwon, kuthane prunggu, langsane monco-warno, manuke gogik, jaladrine wedang, sastrane ongko 1 tekan 9. (Tengah : Kliwon kotanya perunggu/aneka warna, kelambunya aneka warna, burungnya gogik/aneka warna, lautnya wedang/aneka warna, hurufnya angka 1 sampai 9).

Semoga bermanfaat.

[Menggali Kebudayaan Lokal] Falsafah “Ngeyel”

artikel ini di copy paste dari wiedjaya


Falsafah “Ngeyel”

Mengapa budaya penduduk asli bumi Nusantara Pudar ?.
Mungkin hal ini diakibatkan oleh filosofi penduduk asli yang dibentuk dari pengamatan mereka terhadap alam disekitarnya.

Alam mengajarkan mereka untuk bersikap tidak merusak “HARMONIS”, menyatu dengan alam, yang juga diaplikasikan pada sesame manusia sehingga timbul kepercayaan “Tenggang Rasa”. Kemudian bila alam sedang bergolak mereka tidak mampu berbuat apa-apa dan pasrah kepada kekuatan alam maka terlahirlah kepercayaan “NERIMO”, karena mereka melihat gejolak alam selalu ada akhirnya dan kepercayaan nerimo inipun di aplikasikan pada hubungan antar manusia.

Terakhir dan yang mungkin menjadi penyelamat dari budaya tua ini adalah sikap NGEYEL (pantang menyerah). Setelah alam selesai menghancurkan perabot kehidupannya, mereka kembali membangun kehidupan. Sikap ngeyel ini lebih cocok dibilang “RESILIENCE”, karena makna dari kata ngeyel sekarang sudah mempunyai konotatif negative, dipakai untuk julukan orang tak berilmu atau dogol tapi bersikukuh dengan pendapatnya.

Terdesak dengan kedatangan rombongan refugee dari luar (saat itu kita belum punya pulau Galang sebagai pusat penampungan), maka Aki Dudung menerima para refugee ini dengan tangan terbuka termasuk budayanya. Ini semua terjadi karena sudah sangat mendalamnya filosofi Harmony dan Nerimo yang diajarkan oleh alam pada Aki Dudung, sehingga terjadilah pembauran budaya melalui proses bertahun-tahun lamanya sehingga sekarang seolah-olah merupakan budaya asli bangsa kita.

Namun diam-diam dibelakang layar, self preservation mechanism yang ada dalam tubuh budaya tua kita itu sesungguhnya sudah mulai bekerja sejak saat para refugee menginjakkan kaki di bumi Pertiwi. Alat pembela tersebut dikenal dengan nama “NGEYEL”. Sifat-sifat ngeyel dari nenek moyang kita inilah yang telah berhasil mempertahankan ilmu pengetahuan tua tersebut dengan menyisip-nyisipkan istilah dan nama asli secara terbuka disamping membuat ceritas lagenda yang tidak masuk akal tapi sebenarnya adalah pesans leluhur dalam bentuk sandi.

Datangnya pengaruh Hindu

Pada waktu orang Hindu menginjakkan kaki di Bumi Pertiwi, mereka membawa nama hari, bulan dan perhitungan tahun mereka yang kita kenal sebagai tahun SAKA.

Nama dari ketujuh hari tersebut adalah Aditya, Soma, Anggara, Budha, Whraspati, Cukra dan Caniscara. Berhubung intonasinya agak sulit bagi penduduk asli yang bahasanya ngoko jadi medok banget, maka nama Aditya berubah menjadi Radite atau juga Dite. Soma menjadi Somo, Anggara menjadi Anggoro, Budha menjadi Budo, Whraspati menjadi Respati, Cuckra menjadi Sukro, sedangkan Caniscara menjadi Tumpak.

Orangs Hindu ini meluas di Bumi Pertiwi dan dalam menghadapi filosofi Nerimo dan Harmoni di Nusantara yang sangat pasif ini bagi mereka mudah untuk menaklukannya sampai akhirnya mereka berhasil meluaskan ajaran budaya Hindu.

Meskipun nama hari asli Aki Dudung terdesak, namun berkat ke ngeyelan Aki Dudung maka nama-nama tersebut tidak hilang. Belia menggunakan cara “NGERANGKEPI” yaitu dua-dua namanya dipakai sekaligus misalnya Somo Manis untuk Senin Legi, Anggoro Kasih untuk Selasa Kliwon dan Respati Manis untuk Kamis Legi.

Nama hari pasaran tersebut diletakkan dibelakang dan diubah namanya dengan mengambil sinonim dan sifat warna unsurnya.
- Kliwon sinonimnya adalah Kasihan atau Kasih (pancer/Jiwa)
- Legi (unsur udara) sinonimnya Manis, warnanya putih, istilah Jawa Kromonya “Pethak”, diucapkan Pethakan.
- Paing (unsur api) warnanya Merah, istilh Jawa Kromonya “Abrit”, diucapkan Abritan.
- Pon (unsur air) warnanya kuning, istilah Jawa Kromonya “Jene”, diucapkan Jeneyan.
- Wage (unsur tanah) warnanya Hitam, istilah Jawa Kromonya “Cemeng”, diucapkan Cemengan.

Dite Kasih = Minggu Kliwon
Dite Pethakan = Minggu Legi
Dite Abritan = Minggu Paing
Dite Jeneyan = Minggu Pon
Dite Cemengan = Minggu Wage

Somo Kasih = Senen Kliwon
Somo Manis = Senin Legi
Somo Abritan = Senin Paing
Somo Jeneyan = Senin Pon
Somo Cemengan = Senin Wage

Anggoro Kasih = Selasa Kliwon
Anggoro Manis = Selasa Legi
Anggoro Abritan = Selasa Paing
Anggoro Jeneyan = Selasa Pon
Anggoro Cemengan = Selasa Wage

Budo Kasih = Rebo Kliwon
Budo Manis = Rebo Legi
Budo Abritan = Rebo Paing
Budo Jeneyan = Rebo Pon
Budo Cemengan = Rebo Wage

Respati Kasih = Kamis Kliwon
Respati manis = Kamis Legi
Respati Abritan = Kamis Paing
Respati Jeneyan = Kamis Pon
Respati Cemengan = Kamis Wage

Sukro Kasih = Jumat Kliwon
Sukro Manis = Jumat Legi
Sukro Abritan = Jumat Paing
Sukro Jeneyan = Jumat Pon
Sukro Cemengan = Jumat Wage

Tumpak Kasih = Sabtu Kliwon
Tumpak Manis = Sabtu Legi
Tumpak Abritan = Sabtu Paing
Tumpak Jeneyan = Sabtu Pon
Tumpak Cemengan = Sabtu Wage

Maka berkat Resiliensi (ke-ngeyelan) Aki Dudung melalui politik “Ngerangkepi”nya, kita semua hingga kini 62 tahun merdeka dari penjajahan masih bisa mengenal nama hari pasaran tersebut. Bukan hanya pasaran saja tetapi seluruh pengetahuan warisan yang berkaitan dengan pasaran tersebut.

mataangin.gif

Semoga kita semua sadar. Samas menghargai warisan Leluhur kita.

bersambung

[Menggali Kebudayaan Lokal] 4 Musim Menurut Nenek Moyang Kita

artikel ini di copy paste dari wiedjaya


4 Musim Menurut Nenek Moyang Kita

Nama hari pasaran dan nama bulan yang terbukti ada sebelum kedatangan Ajisaka menunjukkan bahwa Indonesia ini sudah ada penduduknya jauh sebelum kedatangan mereka.

Disamping PASARAN dan Nama Bulan asli Indonesia tersebut, masih ada nama 4 musim yang juga asli pengetahuan peninggalan Aki Dudung, Nama dari ke empat musim tersebut adalah:
1. Mareng
2. Ketigo
3. Labuh
4. Rendheng

Musim Mareng
Adalah waktu ketika hujan makin surut atau makin berkurang
Meliputi bulan Apit Kayu, Koso, Karo,(Mei, Juni Juli).

Musim Ketigo
Adalah waktu musim panas atau musim kering.
Meliputi bulan Ketigo, Kapat, Kelimo (Agustus, September, Oktober).

Musim Labuh
Adalah waktu ketika hujan sering turun
Meliputi bulan Kanem, Kapitu. Kawolu (Nopember, Desember, Januari).

Musim Rendheng
Adakah waktu ketika banyak turun hujan.
Meliputi bulan Kesongo, Kesepuluh, Apit Lemah (Pebruari, Maret, April).

Bahasa yang dipakai untuk nama-nama musim tersebut adalah bahasa NGOKO asli Indonesia seperti halnya dengan nama-nama 12 bulan dan nama hari Pasaran.

Adanya nama 4 musim dengan bahasa NGOKO asli Indonesia ini manambah bukti bahwa kita bukan keturunan bangsa Cina dan bangsa India yang sudah mempunyai bahasa dan budaya sendiri. Sangat tidak masuk akal kalau mereka yang datang itu kemudian menciptakan bahasa dan huruf khusus dilanjutkan dengan membelah-belah diri dan kulturnya menjadi suku Jawa, Sunda, Madura, Batak, Bugis, Minang, Ambon, Dayak dstnya

Pasaran, Bulan dan Tahun ini adalah hasil karya cipta bangsa kita sendiri. Sayangnya banyak details dari perhitungan tahun Indonesia asli peninggalan Aki Dudung ini telah tertimbun dengan penggunaan angka tahun pembawaan bangsa asing yang datang beruntun, misalnya tahun Saka, kemudian disusul oleh peleburan antara tahun Saka dan Tahun Arab yang dikenal sebagai tahun Jawa dan terakhir didesak oleh penggunaan angka tahun Masehi, sehingga pudar.

Memang bila angka tanggalan asli tersebut digunakan sekarang ditengah era globalisasi akan menjadi tidak practical, tetapi setidak-tidaknya dapat dipakai sebagai tolak ukur tinggiya budaya asli bangsa Indonesia dan bahan study para scholars.

Nama Semar itu cuma adanya di Indonesia, hal tersebut menunjukkan bahwa sudah kuatnya bidaya lokal ketika dibanjiri budaya Hindu, sehingga lakon lokalnya tetep saja muncul.

Seperti pasar ayam goreng Indonesia dibanjiri oleh ayam KFC, tapi Mbok Bereknya tetep saja nggak bisa hilang

bersambung

Monday, April 07, 2008

Bhuta Yadnya


Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban (binatang), sedangkan 'Car' dalam bahasa Sanskrit artinya 'keseimbangan/keharmonisan'. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan : Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan.
'Keseimbangan/keharmonisan' yang dimaksud adalah terwujudnya 'Trihita Karana' yakni keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), sesama manusia (pawongan), dan dengan alam semesta (palemahan).
Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu terganggu, misalnya : pelanggaran dharma/dosa, atau merusak parahyangan (gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang, dll), perkelahian, huru-hara yang merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran dll yang merusak palemahan, patut diadakan pecaruan.

Kenapa dalam pecaruan dikorbankan binatang ? Binatang terutama adalah binatang peliharaan/kesayangan manusia, karena pada mulanya, justru manusia yang dikorbankan. Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang peliharaan.

Terlebih dulu perlu kiranya dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan, caru, maupun tawur:

Segehan
Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu.
Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Bahan utamanya adalah nasi berwarna beberapa kepal.
Yang umum segehan: putih dan kuning.

Dalam Lontar Carcaning Caru,
penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-masing dengan bulu berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya, sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan **khusus untuk kelengkapan piodalan saja, sehingga memiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan berikutnya.


Caru
Sedangkan pancasanak sampai dengan pancakelud dalam lontar Carcaning Caru tersebut mulai digolongkan sebagai caru yang berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya).
Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara.
Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.

Tawur
Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam lontar Bhama Kertih digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar.
Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta).
Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi.
Adapun tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi, maupun negara.

Rsi Gana

Dalam upacara agama Hindu memang ada dikenal istilah Rsi Gana.
Patut dipahami terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk pemujaan kepada Gana Pati (Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vignesvara (raja atas halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar dari berbagai halangan.
Namun dalam penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak pernah terlepas dari penggunaan caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru ~ kebanyakan orang menyebut dengan istilah caru Rsi Gana.

Upacara Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan.
  • Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima jenis warna).
  • Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda).
  • Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud ditambah seekor bebek putih, menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru.
Jadi, pelaksanaan upacara Rsi Gana adalah bertujuan untuk memuja Dewa Gana Pati atau Ganesa yang merupakan Dewa Penguasa para Gana atau para abdi Dewi Durga, Dewa Siwa, dan Gana Pati sendiri.

Saturday, April 05, 2008

Garuda

"Putih warna pahanya hingga bagian pusarnya,
Merah warna dadanya hingga batang lehernya"

Gàrudeyamantra, 3-4.

Sejak tanggal 1 Agustus 1995 yang lalu di seluruh Indonesia dan juga pada perwakilan-perwakilan atau Kedutaan Besar R.I di seluruh dunia, bendera merah putih dan berbagai hiasan seperti ider-ider, umbul-umbul merah putih telah berkibar. Merah putih kini berkibar di seluruh pelosok desa dan kota, kantor-kantor pemerintah, swasta, balai pertemuan dan rumah-rumah penduduk. Semuanya ini dilakakukan untuk menyambut tahun emas kemerdekaan Republik Indonesia. Berbagai perayaan mulai digelar untuk peringatan yang ke-50 ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, warna merah putih sangat mendominasi perayaan 17 Agustus 1995. Merah putih sebagai bendera nasional secara resmi telah berkibar pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 50 tahun yang silam dan pastilah bendera nasional ini akan selalu dan selamanya berkibar di atas bumi persada tercinta, Nusantara.

Di samping bendera merah putih, tidak dapat dipisahkan adalah lambang negara Garuda Pancasila. Bagaimanakah burung gagah perkasa ini bisa ditetapkan sebagai lambang negara? Kiranya dalam suasana menyambut dan memeriahkan tahun emas kemerdekaan Republik Indonesia, kita telusuri kembali makna Garuda yang dikenal pula sebagai burung merah putih baik dalam alam pikiran prasejarah, peninggalan purbakala, dalam karya sastra maupun pandangan hidup bangsa Indonesia di masa yang silam.

Bila kita telusuri peninggalan prasejarah di Indonesia, lukisan burung garuda atau bulu burung garuda dapat ditemukan pada nekara perunggu tipe Pejeng dan cetakan batu dari desa Manuaba. Kecuali burung garuda, pada masa itu telah dikenal pula beberapa jenis burung tertentu seperti enggang dan merak yang dianggap mengandung arti magis-simbolis. Di antara berbagai lukisan burung itu, hiasan burung garuda sangat digemari. Burung garuda adalah burung matahari atau burung rajawali yang dianggap sebagai lambang dunia atas (Sutaba, 1976,14, Van der Hoop, 1949:178). Lukisan atau relief burung garuda dikenal pula pada masa prasejarah India, yakni ditemukannya lukisan di Harappa (lembah sungai Sindhu) berupa gambar seekor burung garuda yang sedang membabarkan sayapnya dan kepalanya berpaling ke arah kiri. Di atas masing-masing sayapnya terdapat beberapa ekor ular. Burung elang atau garuda yang dilukiskan bersama-sama ular merupakan dasar bentuk binatang garuda yang merupakan wahana dewa Viûóu di India, dilukiskan melayang-layang mencucuk seekor ular di paruhnya (Wiryosuparto, 1956: 21). Selanjutnya di dalam Ågveda yang merupakan sumber ajaran agama Hindu dilukiskan berbagai aspek keagungan Tuhan Yang Mahaesa dengan berbagai nama atau wujud seperti Agni, Yama, Varuna, Mitra dan Garutma atau garuda. Kemahakuasaan-Nya bagaikan garuda keemasan yang menurunkan hujan menganugrahkan kemakmuran (Ågveda I.164.46,47,52).

Dalam perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia, burung garuda yang terkenal dalam wiracarita Hindu ternyata mempengaruhi kesenian Indonesia (Stutterheim,1926:333), misalnya arca garuda wahana Viûóu yang digambarkan sebagai manusia biasa hanya kepalanya diberi bentuk kepala burung(Wiyosuparto,1957: 54). Arca garuda sebagai wahana Viûóu yang lain dapat kita ketahui dari gambar sayap burung garuda pada kaki arca Viûóu dari candi Banon dan arca garuda mendukung dewa Viûónu dari candi Belahan (Kempers,1959: 37,71).

Dalam bentuk pahatan relief dapat kita ketahui dari relief garuda menyembah Viûóu yang didukung oleh naga Ananta, salah satu episode dari ceritra Ràmàyaóa pada relief candi Úiva, Prambanan, relief garuda pada candi Kidal, Kedaton dan Sukuh(Ibid,74,97,102). Pada umumnya relief-relief garuda pada candi-candi tersebut mempunyai pertalian yang erat sekali dengan ceritra Amåta (air kehidupan abadi) seperti dilukisakan secara gamblang di candi Kidal yang mengandung magis-simbolis yakni sebagai lambang kalepasan atau kebebasan jiwa dari seseorang yang telah meninggal dunia (Sutaba,1976:4).

Relief garuda pada candi Kedaton, ceritranya hampir sama dengan garuda pada candi Kidal. Pada candi ini kita melihat relief ibu dari Garuda yang bernama dewi Vinata, Garuda sedang menikmati makanan yang diperintahkan oleh ibunya, ia dilarang memakan Brahmana yang masuk kemulutnya (Kempers, 1959:97).

Dalam pelinggalan epigrafis, cap atau stempel Garudamukha pertama kali dipakai oleh Úri Mahàràja Balitung (808-910) yang memerintah di Jawa Tengah. Sejak pertengahan abad X sampai permulaan abad XIII burung garuda dijadikan lencana kepala negara terutama yang sangat terkenal adalah cap Garudamukha yang dipakai oleh Prabhu Airlangga (1016-1042). Cap Garudamukha dipakai tidak saja pada piagam negara melainkan terutama menguatkan surat-surat atau tulisan di atas batu yang dipakai sebagai tanda pemberian tanah kepada Talan oleh Airlangga dalam tahun 1039 dengan dibubuhi cap Garudhamukha itu, anugrah ini dikuatkan lagi oleh raja Jayabhaya yang memerintah Kadiri dalam abad XII. Rupanya terus-menerus sejak Airlangga sampai kepada Kertajaya, raja Kadiri yang paling akhir (1222), Garudamukha dipakai sebagai cap kepala negara. Di antaranya juga oleh raja Jayabhaya yang sampai kini menjadi terkenal namanya sebagai pemegang lambang dan nujum ke arah masa depan (Yamin, 1954:130,134).

Ceritra dan peranan sang Garuda rupanya sangat populer di dalam kesusastraan Jawa Kuno. Hal ini dapat kita ketahui dalam kakawin Ràmàyaóa, yakni episode Garuda yang gagah perkasa dengan kekuatannya yang dahsyat mampu membebaskan Úri Ràma dan seluruh pengikutnya dari belenggu ikatan naga tali yang dilemparkan oleh putra Ravana bernama Indrajit (Ràm,XXI,149-155).

Di dalam Àdiparva kita jumpai episode kelahiran sang Garuda serta missi yang diembannya untuk membebaskan ibu kandungnya dari perbudakan atau penjajahan yang dilakukan oleh sang Kadru (Àdiparva, VI) sedang di dalam kakawin Bhomàntaka dijelaskan peranan sang Garuda membantu Úri Kåûóa yang bertempur menghadapi raja raksasa yang bernama Bhoma. Garuda dengan kibasan sayapnya menyebabkan terpental dan lepasnya mahkota milik sang Bhoma yang berisi permata ajimat bernama Vijayamàlà. Vijayamàlà ini segera diambil oleh sang Garuda yang menerbangkannya jauh tinggi dan kemudian Úri Kåûóa berhasil memenggal leher sang Boma, kepalanya dengan wajahnya yang menyeringai jatuh kepangkuan ibu pertiwi (Bhomàntaka,CVIII.1-4). Rupanya episode ini mengilhami para arsitek tradisional Bali (undagi/sangging) untuk menempatkan ukiran Bhoma di atas pintu (ambang) Kori Agung, pintu masuk sebuah pura.

Lebih jauh di dalam kakawin Bhàratayuddha disebutkan bahwa kereta Úri Kåûóa dihiasi bendera (dvaja) berwujud raja burung, yakni Garuda yang seakan-akan berteriak di angkasa diikuti oleh gemuruhnya suara gamelan (IX.10). Pada episode berikutnya dijelaskan gelar perang (formasi menyerang dan bertahan) yang disebut Garudavyùha. Drupada sebagai kepala, paruhnya adalah Arjuna, punggungnya para raja yang dipimpin oleh Yudhistira. Dåûþadyumna dan bala tentaranya sebagai sayap kanan, Bhima mengambil formasi sebagai sayap kiri. Satyaki sebagai ekor burung garuda. Formasi tempur Garudavyùha ini ditiru pula oleh pihak lawan, yakni Kaurava yang dipimpin oleh Suyodhana (XII.6-8).

Di samping dalam karya sastra berbahasa Jawa Kuno tersebut di atas, dalam puja atau stuti dan stava para pandita Hindu di Bali dapat dijumpai sebuah mantra atau stava yang disebut Gàrudeyamantra. Mantra ini pertama kali ditemukan di puri Cakranegara, Lombok dan telah diedit oleh Juynboll (1927) yang dikutip pula oleh Mr.Muhammad Yamin dalam bukunya 6000 Tahun Sang Merah Putih (1954:130). Mantra ini diucapkan oleh para pandita sesaat sebelum menikmati hidangan untuk mencegah racun yang mungkin terdapat dalam makanan tersebut. Berikut dikutipkan terjemahan mantra, tersebut :

"Garuda adalah burung yang sangat berkesan dan menakutkan, giginya tajam, matanya merah. Paruhnya besar dan lehernya panjang, memiliki kecepatan bergerak bagaikan angin 1".

"Kedua lututnya berwarna emas, perutnya berbentuk gunung, lehernya bercahaya bagaikan sinar matahari dan kepalanya nampak seperti cahaya berpijar 2".

"Warna bulunya kuning mengesankan. dari kakinya sampai ke lutut. Warna tubuhnya putih mengesankan dari pahanya sampai ke pusarnya 3".

"Warna merah mengesankan dari hati sampai ke bawah paruh. Warna hitam mengesankan dari paruh sampai bagian atas kepalanya 4" (Hooykaas, 1971:269).

Burung garuda yang dilihat dari penampilannya sesuai terjemahan mantra di atas disebut sebagai burung merah putih yang di dalam bahasa Sanskerta disebut "Sveta-rakta- khagaá", sebagai juga dipopulerkan oleh Prof.Mr.Muhammad Yamin salah seorang dari founding fathers bangsa kita.

Ternyata garuda tidak hanya disebut-sebut dalam karya sastra tetapi menyatu dengan pandangan hidup masyarakat, terutama masyarakat Bali yang beragama Hindu. Dalam arsitektur tradisional Bali, burung garuda juga di tempatkan di belakang bangunan suci Padmàsana, Gedong Bata, Bade (menara pengusung jenasah dalam upacara Ngaben), pada "tugeh" (tiang penyangga atap puncak) pada Bale Dangin (balai tempat menyelenggarakan upacara kematian) dan lain-lain, bahkan di dalam sesajenpun, khususnya "banten pasucian" dalam tingkatan upacara yang besar terdapat juga sesajen bernama "Banten Garuda". Juga banten pangesoring Sùrya dan Ulam Babangkitpun menurut lontar Kunadåûþaprakåtti menggunakan sate berbentuk garuda".

Berdasarkan uraian tersebut di atas, garuda dalam alam pikiran bangsa Indonesia di masa yang lalu maupun masyarakat Bali kini tetap berpegang kepada nilai filosofis atau makna garuda sebagai salah satu aspek kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai burung merah putih (sveta-rakta-khagah) yang mempunyai missi untuk membebaskan umat manusia dari belenggu perbudakan atau penjajahan, baik penjajahan jasmani maupun belenggu dunia material yang menyesatkan.

Sungguh sangat tepat pilihan para pendiri negara, menjadikan Garuda yang kakinya mencengkram sasanti Bhineka Tunggal Ika dan di dadanya tergantung perisai sebagai simbolis Pancasila, lengkap dengan Candrasangkalanya, 17-8-45, sebagai lambang negara yang kita cintai. Semoga dengan tahun emas, lima puluh tahun kemerdekaan ini, missi garuda Pancasila membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dalam wujud kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan segera tuntas dan entas oleh kibasan sayapnya yang perkasa.

Sekilas mengenal Weda, kitab suci Hindu....


Kitab suci Hindu
Berbeda dengan ajaran agama lain, Hindu memiliki banyak "kitab keagamaan" yang disucikan oleh penganutnya.
Kitab-kitab suci Hindu secara luas dalam dikelompokkan dalam 2 golongan: yaitu Sruti (itu yang didengar) dan Smriti (itu yang diingat). Kedua kelompok kitab-kitab suci ini dianggap "wahyu Tuhan" karena dalam pembuatannya dianggap mendapat inspirasi Tuhan (God-inspired).

Kitab-kitab Weda
Kitab-kitab tersebut selanjutnya disebut Weda, yang berarti pengetahuan.
Ada empat kelompok Weda yang memberikan pelajaran tentang kebenaran tertinggi dan penuntun untuk menuju Tuhan.

Tiga kitab Weda pertama disebut sebagai Tri Weda, yang terdiri dari:
1. Rig Weda (Weda Nyanyian Pujaan, Weda of Hymns)
terdiri dari 1028 nyanyian pujaan atau hymne (dalam sepuluh buku) kepada para Dewa, seperti Indra dan Agni.
2. Yajur Weda (Weda of Liturgy)
berkaitan dengan pengetahuan upacara. Berisi tentang berbagai aturan yang menjelaskan bagaimana melaksanakan semua upakara, ditulis dalam bentuk prosa dan puisi.
Weda ini sesungguhnya buku untuk pendeta, bahkan menjelaskan aturan membuat sebuah altar dan tata ritual upacara adalah bagian penting dari Weda ini.
3. Sama Weda (Weda of Music)
berkaitan dengan pengetahuan pengucapan mantra (chants). Weda ini terdiri dari 1549 sloka. Sama Weda dinyanyikan oleh para Reshi ketika upacara korban Soma dilakukan. Sampai ukuran tertentu banyak dari sloka Weda ini merupakan pengulangan dari Rig Weda, dinyanyikan dalam bentuk melodi. Mantra dalam Weda ini ditujukan kepada Soma (bulan), Agni (api) dan Indra (Tuhan surga).
Satu kitab pelengkap dari Sama Weda adalah Chandogya Upanishad.

Atharva Weda
berisi pengetahuan yang diberikan oleh Maharesi Atharwa.
terdiri dari 731 hymne dengan 6000 ayat.
Beberapa orang mengatakan bahwa Atharwa bukan menyusun kitab ini tapi beberapa pendeta kepala dalam upacara yang berkaitan dengannya. Atharwa yang disebut dalam Rig Weda, dianggap sebagai putra pertama dari Tuhan Brahma, Tuhan Pencipta (God of Creation).
Atharwa Weda juga dikenal dengan Brahma Weda sebab ia digunakan sebagai manual oleh pendeta kepala upacara dan para Brahmin.
Kitab ini berisi rumusan-rumusan magis dan jampi-jampi.
Sejumlah besar Upanishad sebenarnya berasal dari Atharwa Weda. Percaya atau tidak, banyak dari mantra pengusir setan (exorcisme) dalam agama Hindu berasal dari Weda ini.

Garis besar isi kitab Weda
Weda-Weda pada umumnya berisi :
Samhita.
Teks dasar untuk himne, formula dan japa (chants).
Brahmana.
Petunjuk pelaksanaan upacara
Aranyaka.
Berisi Mantra dan tafsir dari upacara-upacara.
Upanishad.
Ini adalah sejumlah teks yang mengungkapkan kebenaran spiritual tertinggi dan berbagai anjuran mengenai cara untuk mencapai kebenaran itu.

Upanishad
Ada lebih dari 108 buku Upanishad.
13 Upanishad yang paling penting adalah : Isa, Kena, Katha, Prasna, Mundaka, Mandukya, Aitereya, Taittirya, Chandogya, Brihad-Aranyaka, Kausitaki, Shvetasvatara dan Maitri.
Beberapa dari Upanishad dinamai menurut Reshi besar yang ditokohkan atau digambarkan dalam Upanishad tersebut.
Para Reshi besar itu adalah Mandukya, Shvetasvatara, Kaushitaki dan Maitri. Upanishad yang lain diberi nama berdasarkan kata pertama dari kitab itu.

11 Yoga Upanishad bagian yang paling penting dari Upanishad ini adalah:
Yogattava berisi semua rincian mengenai praktik yoga.
Nadabindu seperti digambarkan oleh namanya, berkaitan dengan phenomena indra pendengaran yang menyertai latihan-latihan yoga tertentu. Dhyanabindu berkaitan dengan suku kata AUM dan dengan banyak wahyu mistik.

Friday, April 04, 2008

WAHYU SAPTA WARSITA PANCA PANCATANING MULYA

WAHYU SAPTA WARSITA PANCA PANCATANING MULYA

Menurut sebagian dari faham ajaran spiritual Budaya Jawa, Pancasila itu merupakan bagian dari Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya (Wahyu tujuh kelompok ajaran yang masing-masing kelompok berisi lima butir ajaran untuk mencapai kemuliaan, ketenteraman, dan kesejahteraan kehidupan alam semesta hingga alam keabadian/ akhirat ). Sementara itu ada tokoh spiritual lain menyebutkan Panca Mukti Muni Wacana yang hanya terdiri atas lima kelompok ( bukan tujuh ).

Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya itu terdiri atas :

1. Pancasila

Pancasila merupakan butir-butir ajaran yang perlu dijadikan rujukan pembentukan sikap dasar atau akhlak manusia.

1.1. Hambeg Manembah

Hambeg manembah adalah sikap ketakwaan seseorang kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Manusia sebagai makhluk ciptaanNya wajib memiliki rasa rumangsa lan pangrasa (menyadari) bahwa keberadaannya di dunia ini sebagai hamba ciptaan Ilahi, yang mengemban tugas untuk selalu mengabdi hanya kepadaNya. Dengan pengabdian yang hanya kepadaNya itu, manusia wajib melaksanakan tugas amanah yang diemban, yaitu menjadi khalifah pembangun peradaban serta tatanan kehidupan di alam semesta ini, agar kehidupan umat manusia, makhluk hidup serta alam sekitarnya dapat tenteram, sejahtera, damai, aman sentosa, sehingga dapat menjadi wahana mencapai kebahagiaan abadi di alam kelanggengan ( akhirat ) kelak ( Memayu hayu harjaning Bawana, Memayu hayu harjaning Jagad Traya, Nggayuh kasampurnaning hurip hing Alam Langgeng )

Dengan sikap ketakwaan ini, semua manusia akan merasa sama, yaitu berorientasi serta merujukkan semua gerak langkah, serta sepak terjangnya, demi mencapai ridlo Ilahi, Tuhan Yang Maha Bijaksana ( Hyang Suksma Kawekas ).

Hambeg Mangeran ini mendasari pembangunan watak, perilaku, serta akhlak manusia. Sedangkang akhlak manusia akan menentukan kualitas hidup dan kehidupan, pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

1.2. Hambeg Manunggal

Hambeg manunggal adalah sikap bersatu. Manusia yang hambeg mangeran akan menyadari bahwa manusia itu terlahir di alam dunia ini pada hakekatnya sama. Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh setiap insan itu memang merupakan tanda-tanda kebesaran Hyang Suksma Adi Luwih ( Tuhan Yang Maha Luhur ). Oleh karena itu sebagai salah satu bentuk dari sikap ketakwaan seseorang adalah sikap hasrat serta kemauan kerasnya untuk bersatu. Perbedaan tingkatan sosial, tingkat kecerdasan, dan perbedaan-perbedaan lain sebenarnya bukan alat untuk saling berpecah belah, tetapi malah harus dapat dipersatukan dalam komposisi kehidupan yang serasi serta bersinergi. Hanya ketakwaan lah yang mampu menjadi pendorong tumbuhnya hambeg manunggal ini, karena manusia akan merasa memiliki satu tujuan hidup, satu orientasi hidup, dan satu visi di dalam kehidupannya.

Di dalam salah satu ajaran spiritual, hambeg manunggal itu dinyatakan sebagai, manunggaling kawula lan gustine (bersatunya antara rakyat dengan pemimpin), manunggale jagad gedhe lan jagad cilik ( bersatunya jagad besar dengan jagad kecil ), manunggale manungsa lan alame ( bersatunya manusia dengan alam sekitarnya ), manunggale dhiri lan bebrayan ( bersatunya individu dengan masyarakat luas ), manunggaling sapadha-padha ( persatuan di antara sesama ), dan sebagainya.

1.3. Hambeg Welas Asih

Hambeg welas asih adalah sikap kasih sayang. Manusia yang hambeg mangeran, akan merasa dhirinya dengan sesama manusia memiliki kesamaan hakikat di dalam hidup. Dengan kesadaran itu, setelah hambeg manunggal, manusia wajib memiliki rasa welas asih atau kasih sayang di antara sesamanya. Sikap kasih sayang itu akan mampu semakin mempererat persatuan dan kesatuan.

1.4. Hambeg Wisata.

Hambeg wisata adalah sikap tenteram dan mantap. Karena ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, manusia akan bersikap tenteram dan merasa mantap di dalam kehidupannya. Sikap ini tumbuh karena keyakinannya bahwa semua kejadian ini merupakan kehendak Sang Pencipta.

Hambeg wisata bukan berarti pasrah menyerah tanpa usaha, tetapi justru karena kesadaran bahwa semua kejadian di alam semesta ini terjadi karena kehendakNya, sedangkan Tuhan juga menghendaki manusia harus membangun tata kehidupan untuk mensejahterakan kehidupan alam semesta, maka dalam rangka hambeg wisata itu manusia juga merasa tenteram dan mantap dalam melakukan usaha, berkarya, dan upaya di dalam membangun kesejahteraan alam semesta. Manusia akan merasa mantap dan tenteram hidup berinteraksi dengan sesamanya, untuk saling membantu, bahu membahu, saling mengingatkan, saling mat sinamatan, di dalam kehidupan.

1.5. Hambeg Makarya Jaya Sasama

Hambeg Makarya Jaya Sasama adalah sikap kemauan keras berkarya, untuk mencapai kehidupan, kejayaan sesama manusia. Manusia wajib menyadari bahwa keberadaannya berasal dari asal yang sama, oleh karena itu manusia wajib berkarya bersama-sama menurut potensi yang ada pada dirinya masing-masing, sehingga membentuk sinergi yang luar biasa untuk menjapai kesejahteraan hidup bersama. Sikap hambeg makarya jaya sesama akan membangun rasa “tidak rela” jika masih ada sesama manusia yang hidup kekurangan atau kesengsaraan.

2. Panca Karya

Panca karya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan berkarya di dalam kehidupan.

2.1. Karyaning Cipta Tata

Karyaning Cipta Tata adalah kemampuan berfikir secara runtut, sistematis, tidak semrawut ( tidak worsuh, tidak tumpang tindih ). Manusia wajib mengolah kemampuan berfikir agar mampu menyelesaikan semua persoalan hidup yang dihadapinya secara sistematis dan tuntas. Setiap menghadapi permasalahan wajib mengetahui duduk permasalahannya secara benar, mengetahui tujuan penyelesaian masalah yang benar beserta berbagai standar kriteria kinerja yang hendak dicapainya, mengetahui kendala-kendala yang ada, dan menyusun langkah atau strategi penyelesaian masalah yang optimal.

2.2.Karyaning Rasa Resik

Karyaning rasa resik adalah kemampuan bertindak obyektif, bersih, tanpa dipengaruhi dorongan hawa nafsu, keserakahan, ketamakan, atau kepentingan-kepentingan pribadi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebenaran/budi luhur.

2.3. Karyaning Karsa Lugu

Karyaning Karsa Lugu adalah kemampuan berbuat bertindak sesuai suara kesucian relung kalbu yang paling dalam, yang pada dasarnya adalah hakekat kejujuran fitrah Ilahiyah ( sesuai kebenaran sejati yang datang dari Tuhan Yang Maha Suci/Hyang Suksma Jati Kawekas ).

2.4. Karyaning Jiwa Mardika

Karyaning Jiwa Mardika adalah kemampuan berbuat sesuai dengan dorongan Sang Jiwa yang hanya menambatkan segala hasil karya, daya upaya, serta cita-cita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terbebas dari cengkeraman pancaindera dan hawa nafsu keserakahan serta ketamakan akan keduniawian. Karyaning Jiwa Mardika akan mampu mengendalikan keduniaan, bukan diperbudak oleh keduniawian ( Sang Jiwa wus bisa murba lan mardikaake sagung paraboting kadonyan ).

2.5. Karyaning Suksma Meneng

Karyaning Suksma Meneng adalah kemampuan berbuat berlandaskan kemantapan peribadatannya kepada Tuhan Yang Maha Bijaksana, berlandaskan kebenaran, keadilan, kesucian fitrah hidup, “ teguh jiwa, teguh suksma, teguh hing panembah “.

Di dalam setiap gerak langkahnya, manusia wajib merujukkan hasil karya ciptanya pada kehendak Sang Pencipta, yang menitipkan amanah dunia ini kepada manusia agar selalu sejahtera.

3. Panca Guna

Panca guna merupakan butir-butir ajaran untuk mengolah potensi kepribadian dasar manusia sebagai modal dalam mengarungi bahtera kehidupan.

3.1. Guna Empan Papaning Daya Pikir

Guna empan papaning daya pikir adalah kemampuan untuk berkonsentrasi, berfikir secara benar, efektif, dan efisien ( tidak berfikir melantur, meratapi keterlanjuran, mengkhayal yang tidak bermanfaat, tidak suka menyia-nyiakan waktu ).

3.2. Guna Empan Papaning Daya Rasa

Guna empan papaning daya rasa adalah kemampuan untuk mengendalikan kalbu, serta perasaan ( rasa, rumangsa, lan pangrasa ), secara arif dan bijaksana.

3.3. Guna Empan Papaning Daya Karsa

Guna empan papaning daya karsa adalah kemampuan untuk mengendalikan, dan mengelola kemauan, cita-cita, niyat, dan harapan.

3.4. Guna Empan Papaning Daya Karya

Guna empan papaning daya karya adalah kemampuan untuk berkarya, berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya.

3.5. Guna Empan Papaning Daya Panguwasa

Guna empan papaning daya panguwasa adalah kemampuan untuk memanfaatkan serta mengendalikan kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan secara arif dan bijaksana (tidak menyalahgunakan kewenangan). Kewenangan, kekuasaan, serta kemampuan yang dimilikinya dimanfaatkan secara baik, benar, dan tepat untuk mengelola (merencanakan, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi ) kehidupan alam semesta.

4. Panca Dharma

Panca dharma merupakan butir-butir ajaran rujukan pengarahan orientasi hidup dan berkehidupan, sebagai penuntun bagi manusia untuk menentukan visi dan misi hidupnya.

4.1. Dharma Marang Hingkang Akarya Jagad

Dharma marang Hingkang Akarya Jagad adalah melaksanakan perbuatan mulia sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban umat kepada Sang Pencipta. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Mahaesa untuk selalu menghambakan diri kepada-Nya. Oleh karena itu semua perilaku, budi daya, cipta, rasa, karsa, dan karyanya di dunia tiada lain dilakukan hanya semata-mata sebagai bentuk perwujudan dari peribadatannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk mensejahterakan alam semesta ( memayu hayuning harjaning bawana, memayu hayuning jagad traya ).

4.2. Dharma Marang Dhirine

Dharma marang dhirine adalah melaksanakan kewajiban untuk memelihara serta mengelola dhirinya secara baik. Olah raga, olah cipta, olah rasa, olah karsa, dan olah karya perlu dilakukan secara baik sehingga sehat jasmani, rohani, lahir, dan batinnya.

Manusia perlu menjaga kesehatan jasmaninya. Namun demikian mengasah budi, melalui belajar agama, budaya, serta olah batin, merupakan kewajiban seseorang terhadap dirinya sendiri agar dapat mencapai kasampurnaning urip, mencapai kebahagiaan serta kesejahteraan di dunia dan di akhirat.

Dengan kesehatan jasmani, rohani, lahir, dan batin tersebut, manusia dapat memberikan manfaat bagi dirinya sendiri.

4.3. Dharma Marang Kulawarga

Dharma marang kulawarga adalah melaksanakan kewajiban untuk memenuhi hak-hak keluarga. Keluarga merupakan kelompok terkecil binaan manusia sebagai bagian dari masyarakat bangsa dan negara. Pembangunan keluarga merupakan fitrah manusiawi. Kelompoh ini tentunya perlu terbangun secara baik. Oleh karena itu sebagai manusia memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas masing-masing di dalam lingkungan keluarganya secara baik, benar, dan tepat.

4.4. Dharma Marang Bebrayan

Dharma marang bebrayan adalah melaksanakan kewajiban untuk turut serta membangun kehidupan bermasyarakat secara baik, agar dapat membangun masyarakat binaan yang tenteram damai, sejahtera, aman sentosa.

4.5. Dharma Marang Nagara

Dharma marang nagara adalah melaksanakan kewajiban untuk turut serta membangun negara sesuai peran dan kedudukannya masing-masing, demi kesejahteraan, kemuliaan, ketenteraman, keamanan, kesetosaan, kedaulatan, keluhuran martabat, kejayaan, keadilan, dan kemakmuran bangsa dan negaran beserta seluruh lapisan rakyat, dan masyarakatnya.

5. Panca Jaya

Panca jaya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan penetapan standar kriteria atau tolok ukur hidup dan kehidupan manusia.

5.1. Jayeng Dhiri

Jayeng dhiri artinya mampu menguasai, mengendalikan, serta mengelola dirinya sendiri, sehingga mampu menyelesaikan semua persoalan hidup yang dihadapinya, tanpa kesombongan ( ora rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa lan hangrumangsani, kanthi rasa, rumangsa, lan pangrasa ).

5.2. Jayeng Bhaya

Jayeng Bhaya artinya mampu menghadapi, menanggulangi, dan mengatasi semua bahaya, ancaman, tantangan, gangguan, serta hambatan yang dihadapinya setiap saat, dengan modal kepandaian, kepiawaian, kecakapan, akal, budi pekeri, ilmu, pengetahuan, kecerdikan, siasat, kiat-kiat, dan ketekunan yang dimilikinya. Dengan modal itu, seseorang diharapkan mampu mengatasi semua permasalahan dengan cara yang optimal, tanpa melalui pengorbanan ( mendatangkan dampak negatif ), sehingga sering disebut ‘nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake‘ ( menyerang tanpa pasukan, menang dengan tidak mengalahkan ).

5.3. Jayeng Donya

Jayeng donya artinya mampu memenuhi kebutuhan kehidupan di dunia, tanpa dikendalikan oleh dorongan nafsu keserakahan. Dengan kemampuan mengendalikan nafsu keserakahan di dalam memenuhi segala bentuk hajat serta kebutuhan hidup, maka manusia akan selalu peduli terhadap kebutuhan orang lain, dengan semangat tolong menolong, serta memberikan hak-hak orang lain, termasuk fakir miskin ( orang lemah yang nandang kesusahan/ papa cintraka ).

5.4. Jayeng Bawana Langgeng

Jayeng bawana langgeng artinya mampu mengalahkan semua rintangan, cobaan, dan godaan di dalam kehidupan untuk mempersiapkan diri, keturunan, dan generasi penerus sehingga mampu mencapai kebahagiaan hidup dan kehidupan di dunia dan akhirat.

5.5. Jayeng Lana ( mangwaseng hurip lahir batin kanthi langgeng ).

Jayeng lana artinya mampu secara konsisten menguasai serta mengendalikan diri lahir dan batin, sehingga tetap berada pada hidup dan kehidupan di bawah ridlo Ilahi.

6. Panca Daya

Panca daya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan sikap dan perilaku manusia sebagai insan sosial, atau bagian dari warga masyarakat, bangsa dan negara. Di samping itu sementara para penghayat spiritual kebudayaan Jawa mengisyaratkan bahwa pancadaya itu merupakan komponen yang mutlak sebagai syarat pembangunan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, aman, dan sentosa lahir batin.

6.1. Daya Kawruh Luhuring Sujanma

Daya kawruh luhuring sujanma artinya kekuatan ilmu pengetahuan yang mampu memberikan manfaat kepada kesejahteraan alam semesta.

6.2. Daya Adiling Pangarsa

Daya adiling pangarsa/tuwanggana artinya kekuatan keadilan para pemimpin.

6.3. Daya Katemenaning Pangupa Boga

Daya katemenaning pangupa boga artinya kekuatan kejujuran para pelaku perekonomian ( pedagang, pengusaha ).

6.4. Daya Kasetyaning Para Punggawa lan Nayaka

Daya kasetyaning para punggawa lan nayaka artinya kekuatan kesetiaan para pegawai/ karyawan.

6.5. Daya Panembahing Para Kawula

Daya panembahing para kawula artinya kekuatan kemuliaan akhlak seluruh lapisan masyarakat ( mulai rakyat kecil hingga para pemimpinnya; mulai yang lemah hingga yang kuat, mulai yang nestapa hingga yang kaya raya, mulai kopral hingga jenderal, mulai sengsarawan hingga hartawan ).

7. Panca Pamanunggal ( Panca Panunggal )

Panca pamanunggal adalah butir-butir ajaran rujukan kriteria sosok manusia pemersatu. Sementara tokoh penghayat spiritual jawa menyebutkan bahwa sosok pimpinan yang adil dan akan mampu mengangkat harkat serta martabat bangsanya adalah sosok pimpinan yang di dalam jiwa dan raganya bersemayam perpaduan kelima komponen ini.

7.1. Pandhita Suci Hing Cipta Nala

Pandita suci hing cipta nala adalah sosok insan yang memiliki sifat fitrah, yaitu kesucian lahir batin, kesucian fikir dan tingkah laku demi memperoleh ridlo Ilahi.

7.2. Pamong Waskita

Pamong waskita adalah sosok insan yang mampu menjadi pelayan masyarakat yang tanggap aspirasi yang dilayaninya.

7.3. Pangayom Pradah Ber Budi Bawa Bawa Leksana

Pangayom pradhah ber budi bawa leksana adalah sosok insan yang mampu melindungi semua yang ada di bawah tanggungjawabnya, mampu bersifat menjaga amanah dan berbuat adil berdasarkan kejujuran.

7.4. Pangarsa Mulya Limpat Wicaksana

Pangarsa mulya limpat wicaksana artinya sosok insan pemimpin yang berbudi luhur, berakhlak mulia, cakap, pandai, handal, profesional, bertanggungjawab, serta bijaksana.

7.5. Pangreh Wibawa Lumaku Tama

Pangreh wibawa lumaku tama artinya sosok insan pengatur, penguasa, pengelola yang berwibawa, memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, mampu mengatur bawahan dengan kewenangan yang dimilikinya, tetapi tidak sewenang-wenang, karena berada di dalam selalu berada di dalam koridor perilaku yang mulia ( laku utama ).

KORELASI RUMUSAN PANCASILA DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Menurut KRMH. T.H. Koesoemoboedoyo, di dalam buku tentang “Wawasan Pandam Pandoming Gesang Wewarah Adiluhung Para Leluhur Nuswantara Ngudi Kasampurnan Nggayuh Kamardikan”, pada tahun 1926, perjalanan spiritual Bung Karno, yang sejak usia mudanya gemar olah kebatinan untuk menggapai cita-citanya yang selalu menginginkan kemerdekaan negeri tercinta, pernah bertemu dengan seorang tokoh spiritual, yaitu Raden Ngabehi Dirdjasoebrata di Kendal Jawa Tengah. Pada saat itu Raden Ngabehi Dirdjasoebrata mengatakan kepada Bung Karno, “ Nak,.. mbenjing menawi nagari sampun mardika, dhasaripun Pancasila. Supados nak Karno mangertos, sakpunika ugi kula aturi sowan dik Wardi mantri guru Sawangan Magelang “. ( “ Nak, nanti jika negeri telah merdeka, dasarnya Pancasila. Supaya nak Karno mengerti, sekarang juga saya sarankan menemui dik Wardi, mantri guru Sawangan Magelang” ). Setelah Bung Karno menemui Raden Suwardi di Sawangan Magelang, maka oleh Raden Suwardi disarankan agar Bung Karno menghadap Raden Mas Sarwadi Praboekoesoema di Yogyakarta.

Di dalam pertemuannya dengan Raden Mas Sarwadi Praboekoesoemo itu lah Bung Karno memperoleh wejangan tentang Panca Mukti Muni Wacana dalam bingkai Ajaran Spiritual Budaya Jawa, yang terdiri atas Pancasila, Panca Karya, Panca Guna, Pancadharma, dan Pancajaya.

Terlepas dari kecenderungan faham pendapat Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya, atau Panca Mukti Muni Wacana, jika dilihat rumusan Pancasila ( dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia ), beserta proses pengusulan rumusannya, dengan menggunakan kejernihan hati dan kejujuran, sepertinya dapat terbaca bahwa seluruh kandungan ajaran Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya dan atau Panca Mukti Muni Wacana itu termuat secara ringkas di dalam rumusan sila-sila Pancasila, yaitu :

1. Ketuhanan Yang Mahaesa

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

AJARAN MORAL UNIVERSAL

Kelompok orang yang sudah mulai alergi terhadap Pancasila, sering mengira bahwa penghambat kemajuan bangsa ini adalah Pancasila. Pendapat itu merupakan pendapat yang sangat keliru, karena tidak disertai pemahaman yang menyeluruh tentang makna serta hakikat Pancasila.

Pancasila itu ibarat pisau emas yang bermata berlian. Ditinjau dari bahannya, pisau itu terbuat dari logam mulia serta batu yang sangat mulia. Dan pisau emas bermata berlian itu sangat tajam. Kemuliaan dan ketajamannya dapat digunakan untuk apa saja oleh siapa saja. Pisau itu dapat digunakan untuk memasak, untuk berkarya membuat ukiran patung yang indah, untuk mencari air dan mata pencaharian demi kesejahteraan dan ketenteraman, tetapi dapat pula untuk menodong, bahkan membunuh. Pisau itu pun dapat dibuang, digadaikan, atau dijual bagi orang yang tidak mengerti nilai (value). Permasalahannya sangat bergantung pada manusia pemakainya.

Seekor monyet, jika disuruh memilih antara pisang atau pisau emas yang bermata berlian tadi, pasti akan memilih pisang. Lain halnya dengan manusia yang memang menyadari akan harkat dan martabat kemanusiaannya. Manusia seperti ini pasti akan memilih pisau emas yang bermata intan itu, karena sadar akan nilai yang terkandung di dalamnya. Kalau toh pisau emas bermata berlian tadi berada di tangan monyet, paling digunakan untuk mencuri pisang dengan segala keserakahannya, setelah itu dibuang.

Pancasila yang luhur itu selama ini berada di bumi pertiwi sering sekali mengalami nasib bagaikan mahkota emas bertatahkan intan, berlian dan permata mulia tetapi dipakai oleh monyet2 yg tidak mengerti nilai
Manusia yang tak tahu nilai, ibarat makhluk yang sudah kehilangan sifat insani kemanusiaannya ( lir jalma kang wus koncatan sipat kamanungsane ).

Kandungan Pancasila yang merupakan ikhtisar dari Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya memiliki kesesuaian dengan fitrah Ilahiyah yang termuat di dalam ajaran kitab suci Al-Qur’an. Nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila, walaupun tidak tertulis dalam bentuk rumusan, sangat sesuai dengan nilai-nilai keluhuran budi pekerti yang dimiliki, dijunjung tinggi, serta diamalkan sebagai landasan hidup oleh bangsa-bangsa maju yang berperadaban tinggi di dunia. Dengan demikian Pancasila ini merupakan ideologi yang bersifat universal. Di dalam Pancasila terkandung pula nilai-nilai sosialis religius, bahkan lebih sempurna. Tetapi sayang, nilai-nilai luhur itu nampaknya belum pernah termunculkan dalam kehidupan sehari hari, bahkan sering ditafsirmiring atau diselewengkan oleh oknum-oknum pemimpin, sehingga banyak orang yang meributkan atau mempermasalahkan/ mempertentangkan antara Pancasila dengan Islam, Pancasila dianggap kurang baik jika dibandingkan dengan faham Sosialis Religius, dan sebagainya.

Pandangan-pandangan negatif terhadap Pancasila itu muncul barangkali karena prasangka bahwa Pancasila itu adalah identik dengan Sukarnoisme ( sosialisasi Pancasila ), atau Soehartoisme ( liberalisasi Pancasila ) seperti yang tercantum dalam materi Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila. Pancasila adalah Pancasila.

Banyak orang berpendapat bahwa tanpa Pancasila bangsa-bangsa seperti di negara Amerika Serikat, di negara-negara Eropa, Jepang, Korea, Inggris, Australia, Malaysia, dan Singapura dapat maju dan jaya secara pesat, sedangkan di Indonesia yang ada Pancasila malah semakin mundur dan melarat. Bahkan orang yang berpendapat demikian itu malah mengutarakan juga bahwa dari segi moral dan akhlaknya pun, bangsa Indonesia ini kalah dengan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Pancasila.

Di negara maju, seorang calon pemimpin harus bersih, suci dari cacat-cacat akhlak. Namun perlu kita cermati, di negeri pertiwi ini malah banyak pemimpin yang turut mendukung perilaku maksiyat. Apakah ini sesuai dengan nilai-nilai luhur sila Ketuhanan Yang Mahaesa, yang menjiwai keempat sila yang lain.

Kalau kita menyimak tata upacara pelantikan Presiden Amerika Serikat, perlu lah kita mengakui bahwa Bangsa Amerika lebih menjunjung Tinggi Ketuhanan dibandingkan bangsa Indonesia. Sebelum upacara dimulai, pasti didahului dengan doa. Dengan demikian maka proses pengangkatan Presiden negara adi daya itu pasti diridlo Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga tidaklah aneh kalau bangsa tersebut mampu menguasai dunia. Di sisi lain, di Indonesia, doa selalu dibacakan di setiap akhir upacara, sehingga tidaklah mengherankan kalau bangsa Indonesia yang mengaku berketuhanan itu selalu nubyak-nubyak tanpa tuntunan di dalam setiap sepak terjangnya, dan diakhiri dengan keterlanjuran, penyesalan, dan permohonan maaf.

Di dalam mata uang Dolar Amerika tertulis “ IN GOD WE TRUST “ di bagian atas, oleh karena itu kiranya tidaklah perlu heran kalau nilai mata uang dolar Amerika selalu tinggi dan mampu menguasai dunia. Mata uang Indonesia baru saja mencantumkan “Dengan rahmat Tuhan Yang Mahaesa”. Tulisan itu pun kecil dan terletak di bagian bawah. Bahkan sebelumnya kalimat yang tidak pernah tertinggalkan adalah “ Barang siapa meniru atau memalsukan,… dst “. Bukankah itu cerminan kadar ke Pancasilaisan bangsa yang mengaku berbudaya luhur ini ??

Sistem demokrasi di negeri kita masih sangat kental diwarnai oleh ketamakan akan kekuasaan, dan ketamakan akan harta. Cara-cara penyusunan konstitusi yang berbau mencari-cari celah pembenaran atas kehendak kelompok atau pribadi-pribadi tertentu, belum berorientasi pada upaya penyejahteraan rakyat, apakah sesuai dengan asas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Benarkah sistem demokrasi/ sistem politik kita sudah merujuk pada Pancasila, sak jatine Pancasila ??. Benarkah sistem demokrasi kita sudah berlandaskan hikmah ( kebenaran hakiki, berlandaskan kejujuran ) demi kesejahteraan kehidupan rakyat ??

Perlu dicermati bersama, bahwa di Indonesia itu ada yang memformulasikan, atau merumuskan Pancasila secara formal, tetapi yang mampu dan mau mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari sangat-sangat langka. Sedangkan di lain fihak, di negara-negara maju yang lebih berperadaban, walaupun tanpa formulasi atau rumusan, Pancasila sudah merupakan budaya di dalam kehidupan kesehariannya, sudah melekat dalam jiwanya sehingga mampu membawa mereka ke dalam kemuliaan hidup diri dan negaranya.